Monday, March 31, 2008

Alhamdulillah.. target tercapai

Alhamdulillaah... setelah perjuangan panjang tim... akhirnya target pendanaan capai juga... So, tinggal tunggu bonus dari Kantor Pusat nih. he..he...

Happy Selling

Sunday, March 30, 2008

Target Akhir Triwulan...

Alhamdulillah, ada kabar dari Kantor Pusat. Saat doa pagi senin minggu lalu di Kantor Pusat, nama Cabang kami disebut 2 kali. Yang pertama sebagai satu dari 3 cabang terbaik dari sisi Growth Pembiayaan (credit growth exposure). Itu data per tanggal 19 Maret 2008. Insya Allah akan ditingkatkan terus hingga akhir triwulan ini.

Sedangkan penghargaan satu lagi adalah dari sisi Kepatuhan. Cabang kami termasuk satu dari 5 cabang terbaik kategori Certificate of Compliance.

Tapi sayang nih, dari sisi pendanaan (funding), cabang kami masih kurang. Karena ada pencairan deposito dalam jumlah besar menjelang akhir bulan kemarin. So, harus kerja keras lagi nih sampai jam 13 siang ini. Mohon doanya ya... plus kalo bisa bantu-bantu kontak saya yah... he..he.. insya Allah akan ada pelayanan lebih kok....

Saturday, March 29, 2008

Perlu Sosialisasi Gencar

Sabtu kemarin, saya berkunjung ke 2 pengusaha. Keduanya merupakan nasabah prioritas di beberapa bank, baik domestik maupun internasional. Pengusaha pertama adalah pengusaha Cina. Dari ceritanya, ia memiliki rekening di beberapa bank konvesional. Bank pilihan utamanya adalah BCA. Alasannya adalah kemudahan dan kecepatan transaksi. Tentang bank syariah, ia tidak banyak tahu, karena banyak istilah yang tidak dimengerti. Setelah saya berikan penjelasan, ia menyatakan bersedia asalkan bisa mengakomodasi kebutuhan transaksi bisnisnya.

Pengusaha satunya lagi adalah pengusaha pribumi muslim. Ia hanya bertransaksi di bank dimana mitra bisnisnya berbank. Ironisnya, tidak ada satu pun yang syariah. Karena sudah berusia sepuh, ia tidak ambil pusing tentang bank syariah yang penting bisnisnya berjalan. Setelah saya tanya lebih lanjut, ia memang belum tahu banyak tentang operasional bank syariah. Dan akhirnya ia bersedia menjadi nasabah bank syariah.

Hikmah yang saya peroleh dari perjalanan kemarin adalah bank syariah perlu banyak melakukan sosialisasi kepada para masyarakat. Selain itu perlu dipertimbangkan untuk menggunakan istilah-istilah yang lebih "dekat" dengan masyarakat. Meskipun tetap perlu melakukan sosialisasi istilah islam.

Contoh:
Murabahah - bisa diganti menjadi Pembiayaan Jual Beli
Musyarakah - Pembiayaan Bagi Hasil
Ijarah - Pembiayaan Sewa
Dll.

Semoga bank syariah lebih cepat dikenal....

Thursday, March 27, 2008

SEJARAH BANK SYARIAH

Sejarah Dunia

Perbankan syariah pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel islam, karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis.[1] Pemimpin perintis usaha ini Ahmad El Najjar, mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba) di kota Mit Ghamr pada tahun 1963. Eksperimen ini berlangsung hingga tahun 1967, dan saat itu sudah berdiri 9 bank dengan konsep serupa di Mesir. Bank-bank ini, yang tidak memungut maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung.

Masih di negara yang sama, pada tahun 1971, Nasir Social bank didirikan dan mendeklarasikan diri sebagai bank komersial bebas bunga. Walaupun dalam akta pendiriannya tidak disebutkan rujukan kepada agama maupun syariat islam.

Islamic Development Bank (IDB) kemudian berdiri pada tahun 1974 disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam, walaupun utamanya bank tersebut adalah bank antar pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan dana untuk proyek pembangunan di negara-negara anggotanya. IDB menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing untuk negara-negara tersebut dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada syariah islam.

Dibelahan negara lain pada kurun 1970-an, sejumlah bank berbasis islam kemudian muncul. Di Timur Tengah antara lain berdiri Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979). Dia Asia-Pasifik, Phillipine Amanah Bank didirikan tahun 1973 berdasarkan dekrit presiden, dan di Malaysia tahun 1983 berdiri Muslim Pilgrims Savings Corporation yang bertujuan membantu mereka yang ingin menabung untuk menunaikan ibadah haji.

Sejarah Indonesia

Di Indonesia pelopor perbankan syariah adalah Bank Muamalat Indonesia. Berdiri tahun 1991, bank ini diprakarsai oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan pemerintah serta dukungan dari Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan beberapa pengusaha muslim. Bank ini sempat terimbas oleh krisis moneter pada akhir tahun 90-an sehingga ekuitasnya hanya tersisa sepertiga dari modal awal. IDB kemudian memberikan suntikan dana kepada bank ini dan pada periode 1999-2002 dapat bangkit dan menghasilkan laba. [2].Saat ini keberadaan bank syariah di Indonesia telah di atur dalam Undang-undang yaitu UU No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan.

Hingga tahun 2007 terdapat 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara itu bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero) dan Bank Rakyat Indonesia (Persero).

Sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang 104 BPR Syariah.

LOGO ISLAMIC BANK



Logo baru yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. Nantinya seluruh bank syariah harus menggunakan logo ini disamping logo bank dimaksud. Hal ini dimaksudkan untuk memasarkan persepsi tentang Islamic Bank.

Wednesday, March 26, 2008

INVESTASI BERLIPAT GANDA

Empat prinsip dasar perbankan syariah secara simultan dan makro akan menimbulkan beberapa ekses positif antara lain : menghidupkan iklim investasi di sektor riil, menghapus budaya malas berusaha, pembebasan bank dari negative spread dan barakah/rahmat dari Allah SWT. Bank syariah tidak mengenal transaksi jual beli uang sebagaimana terjadi di sistem perbankan konvensional. Bagi bank syariah, uang hanyalah merupakan alat tukar dan bukannya alat untuk menghasilkan uang. Pada sistem perbankan konvensional, peredaran uang tidak hanya di sektor riil tetapi juga terjadi di PUAB (Pasar Uang Antar Bank). Dalam sistem PUAB ini, uang diperjualbelikan seperti layaknya barang komersial. Bank konvesional yang “berhamba” kepada sistem bunga, hampir bisa dipastikan mendahulukan penyaluran dana di pasar uang ketimbang sektor riil. Alasannya, penyaluran dana di pasar uang selain aman juga likuid, sementara penyaluran di sektor riil sangat berisiko tinggi. Jika perbedaan pendapatan bunga dari sektor riil sama saja dengan di pasar uang, maka dapat dipastikan bank konvensional akan mendahulukan penyaluran dananya di pasar uang. Pilihan untuk menyalurkan dana di sektor riil hanya dilakukan jika tingkat risiko dapat diminimalisir sementara pendapatan bunganya lebih besar daripada tingkat suku bunga di pasar uang. Atau dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa dalam sistem bank konvensional, sektor riil merupakan second way out atau pilihan terakhir. Sementara itu, dalam sistem perbankan syariah, konsentrasi perputaran uang lebih diarahkan kepada sektor riil karena tidak dikenal transaksi jual beli uang. Dengan demikian, sangat jelas bahwa perbankan syariah lebih menghidupkan sektor riil ketimbang sektor moneter (pasar uang).

Dampak kedua implementasi sistem perbankan syariah adalah menghapus budaya malas berusaha. Hal ini terindikasi dari proses edukasi bank syariah untuk mengubah persepsi masyarakat dari “menabung” menjadi “berinvestasi”. Istilah penabung atau deposan sebagaimana dikenal sistem bank konvensional diganti secara perlahan dengan istilah investor dalam sistem bank syariah. Hal ini sangat kentara dari proses pemberian return setiap bulan yang berfluktuasi tergantung kepada kinerja usaha. Nasabah bank syariah dibiasakan untuk menerima return yang fluktuatif, sangat berbeda dengan nasabah bank konvensional yang senantiasa mendapatkan return yang pasti dan tetap. Hal ini tentunya merupakan salah satu proses edukasi masyarakat terhadap sistem investasi atau lebih jauh lagi sistem usaha sektor riil. Masyarakat diedukasi untuk bisa berfikir dan berinvestasi secara rasional, yakni menerima risiko untung dan rugi. Bukankah orang yang menginginkan usahanya selalu untung justru adalah orang yang sangat tidak rasional ? Pada akhirnya masyarakat akan terbiasa untuk hidup berinvestasi atau berusaha.

Ekses yang ketiga adalah meniadakan negative spread yang senantiasa ditakuti oleh perbankan konvensional. Dalam sistem perbankan syariah, bank syariah tidak pernah berjanji untuk memberikan return yang tetap, melainkan fluktuatif tergantung kinerja usaha. Dengan demikian, bank syariah tidak perlu mencari biaya tambahan untuk mengatasi pendapatan bagi hasil yang rendah saat kinerja usaha turun sebagaimana terjadi di bank konvensional.

Dampak lainnya yang tampaknya sudah pasti adalah rahmat dan barakah Tuhan. Bukankah meninggalkan larangan Tuhan akan riba merupakan sebuah tindakan kebaikan yang akan diganjar pahala ? Apalagi kemudian diganti dengan alternatif transaksi berupa transaksi yang dianjurkan yakni jual beli dan bagi hasil. Dapat dipastikan pahalanya akan berlipat ganda. Jika kita mengambil analogi sistem pernikahan, maka kita akan lihat berapa besarnya kebaikan yang Allah berikan. Sebagian besar ulama memandang proses penyaluran kebutuhan biologis kepada istri merupakan kebaikan besar yang akan diganjar pahala berlipat ganda karena merupakan kebalikan atas larangan Tuhan atas perilaku zina. Mengambil analogi ini, maka menabung di bank syariah tidak hanya akan memperoleh pahala karena mematuhi larangan Tuhan untuk menjauhi riba, tetapi juga memperoleh pahala karena mengikuti anjuran untuk melakukan transaksi halal seperti jual beli atau bagi hasil. Allah berfirman : “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (QS. Al-Baqarah : 275). Dengan demikian, berinvestasi di bank syariah akan mendapatkan 2 kebaikan yakni menjauhi larangan dan mengerjakan perintah Tuhan.

Selanjutnya, jangan kaget jika setiap kebaikan yang dilakukan akan dibalas lebih dari 700 kali lipat oleh Tuhan. Lihat saja janji Allah SWT. : “Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir menghasilkan seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Baqarah : 261). Bukankah berinvestasi di bank syariah sama artinya dengan menafkahkan sebagian harta membantu bekembangnya sistem ekonomi Islam ?

SISTEM PERBANKAN ISLAM

Sistem perbankan syariah dibangun diatas 4 (empat) prinsip utama antara lain : universalitas, transaparansi, partnership, dan keadilan. Atas dasar prinsip universalitas, perbankan syariah memandang bahwa setiap orang akan diperlakukan sama tanpa melihat latar belakang suku, agama, ras dan golongan. Hal ini terbukti dari pengamatan bahwa ternyata yang berhubungan dengan bank syariah tidak mesti beragama Islam, tetapi juga berbagai agama dan etnis. Bahkan pada beberapa kasus terdapat karyawan beragama non-Islam, yang menempati posisi-posisi yang penting dalam bank syariah.

Prinsip yang kedua adalah transparansi. Perbankan syariah, mau tidak mau harus terbuka menginformasikan mengenai kinerjanya, karena merupakan konsekuensi logis dari penerapan sistem sistem bagi hasil. Itulah makanya, bank syariah diharuskan menerbitkan laporan keuangan setiap bulannya agar masyarakat tahu nilai bagi hasil yang akan diterimanya. Prinsip ketiga yang diusung oleh perbankan syariah adalah kemitraan. Dalam sistem perbankan syariah, masing-masing pihak yang terlibat yakni nasabah penabung (baca : investor), bank syariah dan pengusaha (nasabah pembiayaan bank syariah) ditempatkan pada posisi yang sama dan saling ketergantungan. Jika pengusaha dapat meningkatkan kinerja usahanya, maka tingkat return yang diperoleh pengusaha juga akan semakin tinggi. Dengan demikian, tingkat bagi hasil yang akan diterima bank syariah pun akan meningkat. Apabila pendapatan bank syariah meningkat, maka pendapatan yang akan diperoleh nasabah investor juga akan semakin tinggi. Secara ringkas dapat dikatakan bahwa semakin tinggi kinerja usaha pengusaha, maka semakin tinggi tingkat return yang akan diterima nasabah investor, demikian juga sebaliknya. Sangat berbeda dengan sistem bank konvensional yang menerapkan sistem bunga. Bank diharuskan membayar kewajiban bunga yang besarannya tetap meskipun sektor usaha sedang turun kinerjanya.

Prinsip keempat yang melekat pada sistem perbankan syariah adalah keadilan. Prinsip keadilan tercermin dari kenyataan bahwa bank syariah senantiasa mengambil keuntungan dari setiap transaksi secara adil, salah satunya terlihat dari transaksi sistem bagi hasil. Proses bagi hasil sangat ditentukan dari tingkat pendapatan nasabah yang mungkin saja fluktuatif dan bukan dari nilai pokok yang besarannya tetap dan tidak tergantung kinerja usaha. Selain itu, prinsip keadilan juga diterapkan pada tujuan investasi bank syariah yang diarahkan hanya kepada sektor usaha yang halal saja. Bisakah anda bayangkan betapa ruginya atau bisakah hati umat Islam merasa tenang jika uang yang disimpan di bank konvensional ternyata disalurkan ke sektor usaha non-halal seperti peternakan babi, minuman keras dan lain-lain ? Apalagi jika kita tahu bahwa uang yang kita makan sekeluarga adalah hasil investasi dari usaha non halal tersebut ? Padahal selama ini nilai-nilai yang ditanamkan kepada anak-anak kita adalah senantiasa memakan makanan yang halal. Bank syariah senantiasa bertindak adil dengan berinvestasi di sektor halal saja. Dengan demikian setiap orang akan merasa aman akan penggunaan dananya. Bukankah Rasulullah SAW pernah menyatakan bahwa orang berharta itu akan ditanya di akhirat nanti : “Dari mana hartamu dan untuk apa ?”.

SISTEM BUNGA DAN KRISIS NASIONAL

Terlepas dari halal haramnya bunga bank, saya merasa bahwa perkembangan sistem perbankan syariah tidak seratus prosen bergantung kepada fatwa MUI tentang haramnya bunga bank. Secara rasional, masyarakat akan memilih sendiri sistem mana yang lebih baik, seiring dengan semakin cerdasnya masyarakat terhadap kondisi perekonomian negeri ini. Masyarakat saat ini sudah semakin sadar bahwa krisis nasional yang masih terasa hingga saat ini lebih disebabkan oleh krisis perbankan yang melanda negeri ini beberapa tahun lalu.

Rontoknya sistem perbankan nasional yang ditandai oleh likuidasi bank beberapa tahun silam tepatnya November 1997, telah menyebabkan sistem perekonomian nasional menjadi kacau. Likuidasi beberapa bank nasional telah menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat domestic dan internasional saat itu, yang ditandai dengan terjadinya rush (penarikan uang besar-besaran) dan ditolaknya L/C Indonesia diluar negeri. Kejadian tersebut kemudian memiliki efek domino yang sangat luas dan cepat merambah segala sektor ekonomi. Jangan heran jika saat itu harga-harga kebutuhan pokok meningkat tajam sebagai akibat jatuhnya nilai kurs rupiah hingga mencapai Rp15,000 per dollar. Pada saat yang sama, nasabah perbankan konvensional baru merasakan akibatnya. Tingkat suku bunga kredit perbankan tiba-tiba saja berubah menjadi sangat tinggi, bahkan pernah mencapai tingkat suku bunga diatas 75% per tahun. Saat itu, banyak konsumen KPR (Kredit Pemilikan Rumah) yang harus merelakan rumahnya disita karena tidak sanggup membayar angsuran yang meningkat akibat perubahan nilai suku bunga, dari semula angsurannya hanya sebesar Rp250 ribu sebulan tiba-tiba membengkak menjadi Rp750 ribu rupiah sebulan. Nasabah importir pun tidak kalah “matinya”. Hutangnya dalam dollar tiba-tiba saja membengkak karena nilai tukar dollar saat jatuh tempo pembayaran L/C meningkat dari Rp2,500 per dollar menjadi Rp12,000 per dollar. Maka jangan heran jika banyak kredit macet saat itu, bukan karena usahanya yang tidak berputar tetapi lebih karena perubahan nilai suku bunga di pasar uang antar bank (PUAB). Kenapa hal ini bisa terjadi ?

Rusaknya sistem perbankan nasional lebih disebabkan oleh ketidakmampuan bank membayar kewajiban bunga yang besarannya tetap, tanpa harus dikaitkan dengan kemampuan bank mencetak laba dari pendapatan bunga kredt. Akibatnya terjadilah apa yang disebut sebagai negative spread, yaitu suatu kondisi dimana pendapatan bunga bank lebih kecil daripada kewajiban bunga. Seiring dengan berputarnya waktu, sesuai dengan konsep time value of money, tingkat negative spread akan semakin tinggi. Beberapa bank yang tidak mampu lagi menanggung negative spread, kemudian mengajukan usulan untuk memperoleh BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), yakni sebuah skema bantuan yang hingga saat ini rasanya belum pernah usai. Dan pada akhirnya, kita pun akan bertanya dari mana dana BLBI berasal ? Pertanyaan yang sangat naïf, tapi wajar saja muncul. Yang pasti adalah : “dari rakyat, untuk konglomerat”. Pada saatnya, Bank Indonesia memiliki nilai ambang batas dimana BLBI tidak lagi bisa diberikan. Saat itulah terjadi proses likuidasi bank. Efek domino selanjutnya adalah krisis ekonomi sebagaimana telah dibahas di atas.

Mencermati hal-hal tersebut di atas, maka tidaklah berlebihan jika kita menarik benang merah bahwa krisis yang masih terasa hingga kini disebabkan salah satu permasalahan yakni implementasi sistem bunga, selain pastinya moral. Namun demikian yang mengherankan adalah kenapa bangsa ini tidak mau belajar dari pengalaman ? Kita masih saja mau diiming-imingi oleh hadiah beraneka ragam ataupun bunga tinggi untuk sekadar menabung di bank konvensional. Jika saja kita mau belajar dari pengalaman, maka kita akan tahu bahwa implementasi sistem bunga pada perbankan konvensional jauh lebih menakutkan dibandingkan dengan dampak pencurian sebagaimana telah dicontohkan filosuf Yunani, Cato.

PANDANGAN ISLAM TERHADAP BUNGA

Pandangan Islam terhadap penerapan sistem bunga sangat jelas dan tegas. Hal ini tercermin dari bagaimana Allah SWT melarang sistem riba yang notabene sama dengan bunga. Ada beberapa ayat Allah SWT yang melarang riba, diantaranya: “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya (dirugikan).” (QS. Al-Baqarah : 278-279).

Selain itu, ada beberapa hadits Rasulullah SAW yang mengecam keras praktek riba. Al Hakim meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda : “Riba itu mempunyai 73 tingkatan, yang paling rendah (dosanya) sama dengan seseorang melakukan zina dengan ibunya”. Dalam sebuah hadits lain, yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, “Tuhan sesungguhnya berlaku adil karena tidak membenarkan empat golongan memasuki syurga atau tidak mendapat petunjuk yakni peminum arak, pemakan riba, pemakan harta anak yatim dan mereka yang menelantarkan ibu/bapaknya”. Mencermati beberapa dalil tersebut, rasanya aneh sekali jika ternyata sebagian umat Islam cenderung masih tidak merasa risih dan bahkan bangga “menghidupkan” sistem perbankan konvensional, baik berupa menyisihkan sebagian hartanya untuk ditabung maupun menggunakan fasilitas kredit bank konvensional.

Mencermati kondisi umat Islam yang seperti demikian, beberapa ulama Internasional yang tergabung didalam OKI (Organisasi Konferensi Islam) pernah mengeluarkan fatwa yang sangat tegas tentang sistem bunga dalam sistem perbankan konvensional. Majma’ Fiqh Islamy, OKI (Organisasi Konferensi Islam) : “Bahwa setiap tambahan (interest) atas hutang yang telah jatuh tempo dan orang yang berutang tidak mampu mambayarnya, dan sebagai imbalan atas penundaannya itu, demikian pula tambahan (interest) atas pinjaman yang ditetapkan diawal perjanjian, maka kedua bentuk ini adalah riba yang diharamkan dalam syariat”. (Keputusan No.10 Majelis Majma’ Fiqh Islamy, Konferensi OKI II, 22-28 Desember 1985). Sementara itu, Muktamar II Lembaga Riset Islam Al-Azhar yang diselenggarakan di Kairo pada bulan Mei 1965 yang dihadiri utusan dari 35 negara Islam telah menyepakati beberapa hal diantaranya : “Bunga (interest) dari semua jenis pinjaman, hukumnya riba dan diharamkan”.


Didalam negeri sendiri, masih terdapat perbedaan pendapat ulama tentang halal-haramnya bunga bank. Terhadap perbedaan pendapat tersebut, DR. Yusuf Qardhawi dalam buku “Bunga Bank Haram” menyatakan bahwa : “Mungkinkah sebuah fatwa yang muncul dari satu atau dua orang ulama dapat mengalahkan fatwa kolektif dalam kategori ijma yang lebih pasti dan kuat sebagaimana dikeluarkan oleh lembaga-lembaga dan muktamar Islam berskala Internasional ?”. Namun demikian, kita patut bersyukur dengan adanya fatwa MUI (Majelis Ulama Indoensia) tentang keharaman bunga bank. Mudah-mudahan hal ini akan menjadi petunjuk yang jelas bagi masyarakat untuk menentukan pilihan.


Sunarto Zulkifli
UNIVERSALITAS SISTEM PERBANKAN SYARIAH

Sebenarnya jika saja mau membaca beberapa literatur perbankan syariah, kita akan menemukan beberapa referensi bahwa ternyata sistem perbankan syariah yang menolak sistem bunga tidak hanya diakui oleh Islam, tetapi juga oleh beberapa kalangan non-Islam seperti: Yahudi, Kristen dan Filosuf Yunani. Hal ini menunjukkan sifat universalitasnya ajaran Islam yang tidak hanya menawarkan kebenaran tetapi juga sistem nilai keadilan.

Kalangan Yahudi sebenarnya sejak dulu tidak membenarkan implementasi sistem bunga sebagaimana selama ini kita kenal. Hal sejalan dengan penjelasan beberapa ayat didalam kitab Yahudi. Kitab Eksodus (Keluaran) pasal 22 ayat 25 menjelaskan : “Jika engkau meminjamkan uang kepada salah seorang ummatku, orang yang miskin diantaramu, maka janganlah engkau berlaku sebagai penagih hutang terhadap dia, janganlah engkau bebankan bunga terhadapnya.”. Kalimat larangan penggunaan sistem bunga sangat jelas didalam ayat tersebut, dan pastinya sangat dipatuhi orang-orang Yahudi. Indikasinya adalah penerapan sistem bagi hasil dikalangan Yahudi. Kabarnya, sistem modal ventura yang baru dikenal di Indonesia merupakan hasil tukar pikiran dan pengalaman dengan beberapa lembaga keuangan di Israel. Kitab Deuteronomy (ulangan) pasal 23 ayat 19 : “Janganlah engkau membungakan kepada saudaramu…”. Kitab Levicitus (Imamat) pasal 35 ayat 7 mengungkapkan bahwa : “Janganlah engkau mengambil bunga uang atau riba darinya.”. Pertanyaannya adalah kenapa justru beberapa bank konvensional besar di dunia justru dimiliki sahamnya oleh orang-orang Yahudi? Untuk menjawab pertanyaan ini tidak terlalu sulit karena kita sudah mengenal bagaimana sifat dan perilaku orang Yahudi. Buat mereka kata-kata “…saudaramu...” didalam ayat-ayat di atas diartikan sebagai kalangan sesama Yahudi. Dengan demikian penerapan sistem bunga dapat diberlakukan kepada kalangan non-Yahudi, sementara sesama Yahudi diterapkan sistem bagi hasil yang nota bene lebih bernuansa syariah.

Sementara itu, kalangan Kristen sebenarnya juga tidak membenarkan sistem bunga, walaupun tidak secara tegas. Lukas 6 : 34-5 menjelaskan: “… Tetapi kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan…”. Ayat tersebut tidak secara tegas menolak bunga, hanya berupa anjuran untuk tidak mengambil kelebihan dalam memberikan pinjaman. Ketidaktegasan ini menimbulkan beberapa persepsi dikalangan pemikir agama Kristen. Pandangan para pendeta awal Kristen (abad I s.d. XII) menolak dan mengharamkan sistem bunga. Namun pada perkembangannya pada abad XVI hingga tahun 1836, kalangan pendeta Kristen merealisasikan implementasi sistem bunga dalam sistem keuangan saat itu.

Pemikiran tentang pelarangan sistem bunga sebenarnya bukan saja merupakan tesis yang berkembang akhir-akhir ini. Beberapa filosuf Yunani dan Romawi juga memiliki pandangan yang sama tentang sistem bunga. Pada masa Genucia tahun 342 SM, sistem bunga secara tegas tidak diperbolehkan. Sementara itu, Plato dan Aristoteles mengecam praktek bunga dengan alasan penyebab perpecahan masyakat, alat golongan kaya mengeksploitasi si miskin. Menurut mereka, uang hanyalah berfungsi sebagai alat tukar dan bukannya alat penghasil bunga. Filosuf Cato memberikan ilustrasi tentang hukum yang diterapkan pada masanya. Pada masa itu, pencuri itu dikenakan denda atau hukuman dua kali lipat, sedangkan pemakan bunga dihukum/didenda empat kali lipat. Hal ini menggambarkan betapa peradaban masyarakat saat itu memandang sistem bunga sebagai suatu sistem yang sangat berbahaya, sehingga untuk itu perlu dikenakan hukuman yang lebih berat daripada mencuri. Hal ini didasari oleh pemikiran bahwa tindakan pencurian mungkin hanya dirasakan akibatnya oleh orang yang haknya terambil, sementara pemungutan bunga akan menimbulkan ekses yang lebih luas.

Pemaparan di atas menunjukkan bahwa nilai-nilai yang dibawa oleh sistem perbankan Islam sangat universal dan diakui oleh beberapa agama dan pemikir besar dunia. Pertanyaan selanjutnya adalah kenapa pada kenyataannya, justru umat Islam cenderung menafikan hal ini. Jawabannya sederhana saja, mungkin mereka belum tahu.