Tuesday, April 22, 2008

Pola Pemberdayaan UKM Versi Bank Syariah

Krisis ekonomi yang berkepanjangan masih terasa gaungnya hingga kini. Dan banyak kalangan berpendapat bahwa krisis ini lebih banyak disebabkan oleh permasalahan yang ditimbulkan oleh usaha-usaha skala besar. Padahal selama ini, kalangan perbankan lebih banyak berpihak kepada usaha-usaha skala besar, terutama dalam hal peningkatan portofolio usaha. Namun demikian, krisis ekonomi tersebut tidak berdampak langsung terhadap kelompok usaha kecil dan menengah (UKM). Sektor ini ternyata lebih resisten tehadap krisis, karena hampir sebagian besar menggunakan bahan baku dalam negeri sehingga tidak terkena dampak merosotnya nilai tukar rupiah. Namun demikian, apabila dibiarkan maka sektor UKM pun akan terkena dampak tidak langsung krisis ekonomi karena pangsa pasar sektor UKM biasanya adalah pengusaha besar.

Untuk itu maka semua pihak sepakat untuk bersama-sama melakukan proses pemberdayaan sektor UKM. Selain itu, sektor UKM akan membawa 2 implikasi signifikan yaitu mengatasi pengangguran dan kemiskinan. Mengingat bahwa sebagian besar penduduk Indonesia "berkutat" di sector UKM dan non-formal, maka pemberdayaan sector UKM akan berdampak langsung bagi tersedianya lapangan kerja yang pada akhirnya berimplikasi kepada pemberantasan kemiskinan. Selain itu, pemberdayaan UKM akan berimplikasi kepada pembukaan usaha kecil baru karena biasanya sector UKM mengkonsumsi bahan baku local.

Urgensi Pengembangan UKM

Memiliki kontribusi GDP dan pertumbuhan ekonomi. Apabila sektor UKM ini dikembangkan, maka ekonomi Indonesia akan memiliki industri dasar (base industry) yang cenderung mampu bertahan menghadapi krisis ekonomi. Saat ini, kontribusi UKM pada GDP hanya sebesar 32,84%.

Merupakan sektor yang cukup banyak menyerap tenaga kerja. Dengan begitu, pengembangan UKM akan mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia. Implikasinya adalah kondisi ekonomi masyarakat yang membaik dan GDP yang meningkat.

Kurangnya kelas menengah. Kondisi ekonomi Indonesia yang menyebabkan tidak berkembangnya usaha kecil menjadi usaha menengah. Iklim ekonomi yang abnormal selama ini menyebabkan usaha kecil cenderung statis dan tidak mengalami peningkatan yang berarti. Demikian juga halnya dengan usaha menengah, sangat sedikit usaha menengah yang mampu menjadi besar, bahkan banyak yang mengalami penurunan. Hal ini sangat berbeda dengan perkembangan usaha kecil di beberapa negara ASEAN lainnya. Untuk itu diperlukan suatu kebijakan baru guna menciptakan iklim yang sehat bagi pertumbuhan UKM.

Inovasi dan kompetisi. Iklim globalisasi mengharuskan semua jenis usaha, termasuk UKM, untuk meningkatkan daya inovasi dan kompetisinya.

Demokrasi. Setiap elemen masyarakat memiliki hak untuk berusaha untuk memperoleh penghidupan yang layak. Namun demikian, agar menjadi lebih terarah maka UKM perlu dibina dan dikembangkan.

Kebijakan Pemberdayaan UKM

Oleh karena itu, untuk mengatasi krisis ekonomi, strategi ekonomi perlu diarahkan kembali kepada sektor usaha kecil dan menengah. Menanggulangi akibat krisis bersamaan dengan membenahi infrastruktur bagi pengembangan usaha kecil dan menengah tidak dapat dilakukan hanya oleh pelaku pasar secara parsial melainkan harus dengan pendekatan menyeluruh dari semua unsur. Berkaitan dengan hal ini, pemerintah secara aktif melakukan proses pemberdayaan UKM yang didasarkan kepada beberapa hal yakni sila kelima Pancasila, Undang Undang Dasar 1945, pasal 33, Garis-garis Besar Haluan Negara 1999 dan Undang Undang No.9 tahun 1995.

Perbankan memegang peranan penting, karena kesulitan utama pengembangan usaha kecil dan menengah pada umumnya kekurangmampuan mereka dibidang permodalan, jaminan dan manajemen dalam menjalankan usaha secara efektif dan efisien.

Arah Kebijakan
Kebijakan pemberdayaan UKM diarahkan kepada usaha memperkokoh struktur dunia usaha yang berintikan UKM sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi kemiskinan dan peningkatan lapangan usaha.

Konsekuensi
Kebijakan pemberdayaan UKM tersebut di atas berimplikasi beberapa konkuensi antara lain :
UKM dituntut memiliki usaha yang sehat, efisien, tangguh dan mandiri,
Globalisasi ekonomi menuntut UKM meningkatkan daya saing, melakukan diversifikasi produk untuk pasar dalam dan luar negeri,
Perubahan Departemen Koperasi & PKM menjadi Kantor Menegkop dan Penerapan Otonomi Daerah, dalam rangka meningkatkan peran masyarakat/dunia usaha/swasta untuk membina UKM

SEKILAS UKM

Kriteria UKM

Ada beberapa kriteria UKM, antara lain :
Kekayaan bersih diluar tanah dan bangunan tempat usaha paling banyak Rp.200 juta (usaha kecil) dan Rp. 1 milyar.
Omset per tahun maksimum Rp. 1 milyar (usaha kecil) dan Rp. 5 milyar (usaha menengah).
Milik Warga Negara Indonesia
Berdiri sendiri, bukan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha besar
Berbentuk usaha perorangan, badan usaha yang berbadan hukum ataupun tidak, termasuk koperasi

Kemitraan

Pengembangan UKM diarahkan kepada pola kemitraan antara lain :
UKM melakukan hubungan kemitraan dengan usaha besar baik yang memiliki keterkaitan usaha ataupun tidak.
Pola kemitraan meliputi : inti plasma, subkontrak, dagang umum, waralaba, keagenan dan bentuk kemitraan lainnya.

Program Pemberdayaan UKM

Program pemberdayaan UKM antara lain :
Pemasaran dan jaringan usaha, dengan tujuan agar UKM mampu menguasai, mengelola dan mengembangkan pasar
Pembiayaan usaha, dengan tujuan memperkuat struktur permodalan UKM dan meningkatkan akses ke sumber-sumber pembiayaan
Meningkatkan kualitas SDM atau profesionalisme UKM
Jasa pengembangan usaha, dengan tujuan membantu UKM dalam mengatasi ketidaksempurnaan pasar, keterbatasan akses informasi dan teknologi
Meningkatkan penguasaan teknologi, dengan tujuan meningkatkan efisiensi, produktifitas dan daya saing UKM
Meningkatkan penguasaan informasi, agar UKM mampu melihat, menilai dan memahami perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam lingkungannya dan cepat tanggap mengantisipasi setiap perubahan

KEWIRAUSAHAAN

Pengembangan Kewirausahaan UKM

Untuk mengembangkan UKM, maka perlu dilakukan pembinaan yang integral agar terbentuk jiwa dan etos kerja kewirausahaan. Secara sederhana, kewirausahaan dapat diartikan sebagai seseorang atau mereka yang mendirikan serta mengelola kegiatan usaha yang dimilikinya sendiri dan menciptakan lapangan kerja untuk orang lain.

Untuk membentuk etos kewirausahaan, diperlukan perpaduan antara pelaku (wirausaha) dengan lingkungan usahanya. Konsep ini lebih dikenal dengan "Competency based economics throuh formation of entrepreneurs". Terdapat 3 faktor utama yang mempengaruhi si pelaku wirausaha, yaitu :
Kemampuan (knowledge, pengalaman, keterampilan, dan karakter)
Sumber daya (modal dan jaringan)
Motivasi

Sedangkan lingkungan usaha dipengaruhi beberapa faktor, antara lain :
Lingkungan makro (iklim usaha/peraturan pemerintah yang mendukung)
Lingkungan Meso/bisnis (adanya peluang pasar)
Lingkungan mikro (lokasi usaha)

Apabila terjadi keterpaduan antara faktor-faktor yang mempengaruhi antara si pelaku dan lingkungan usaha, maka akan dihasilkan wirausaha yang mampu tumbuh secara sehat. Ada 4 hal penting yang harus dilakukan oleh para wirausaha, antara lain :
Mengasah kemampuan
Menentukan jenis usaha yang sesuai dengan kemampuan
Menyusun business plan, yang minimal meliputi 4 aspek utama : pemasaran, operasional, organisasi dan finansial
Menyusun langkah implementasi yang sistematis

Karakter Wirausaha UKM

Ada beberapa karakteristik dasar yang harus menjiwai setiap langkah pelaku wirausaha, antara lain :
Ulet
Percaya diri
Aktif mencari peluang
Memiliki komitmen
Berani mengambil resiko
Mengutamakan kualitas dan efisiensi
Gesit mencari informasi
Mampu menetapkan tujuan
Mampu membuat perencanaan dan pengendalian yang sistematis
Mampu meyakinkan orang lain dan membentuk jaringan usaha

Pemberdayaan sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) merupakan issue nasional yang hingga saat ini belum terpecahkan secara optimal. Kalangan akademisi, praktisi maupun birokrasi telah sepakat bahwa pemberdayaan sektor UKM merupakan titik krusial yang harus dilakukan untuk meningkatkan kinerja perekonomian nasional dan immunitas perekonomian nasional terhadap gejolak krisis. Jumlah tenaga kerja di sektor UKM dan koperasi saat ini telah mencapai 70 juta orang. Apabila sektor ini dapat diberdayakan secara optimal, maka minimal dapat mengangkat kesejahteraan 70 juta orang yang diikuti oleh meningkatnya daya beli masyarakat. Pada akhirnya hal ini akan berimplikasi kepada peningkatan laju pertumbuhan ekonomi nasional.
Ironisnya, sumbangan kepada pendapatan per kapita dari sektor UKM dan koperasi hanya 56%, sisanya 44% dipenuhi perusahaan besar. Padahal saat ini jumlah perusahaan yang tergolong besar hanya sebesar 1% dan sektor UKM dan koperasi sebesar 99%. Terkait dengan hal tersebut, Wapres Hamzah Haz mengemukakan bahwa laju pertumbuhan ekonomi perlu ditingkatkan dengan cara menggalakkan sektor koperasi dan UKM (www.bisnis.com, 8/4/03).
Upaya pemerintah untuk memberdayakan sektor UKM terlihat dari beberapa kebijakannya. Bank Indonesia telah memberikan komitmennya untuk mengucurkan dana sebesar Rp 42,3 trilyun untuk sektor koperasi dan UKM yang berasal dari perbankan nasional atau sekitar 50,6 % dari total ekspansi kredit perbankan (www.pikiran-rakyat.com, 11/2/03). Untuk optimalisasi pengelolaannya, pemerintah juga telah membentuk satuan tugas (satgas) untuk menjembatani kesenjangan informasi dan kepentingan antara perbankan dan UKM. Satgas tersebut bertugas antara lain melakukan standarisasi dan seleksi terhadap konsultan keuangan mikro, kecil dan menengah yang akan bermitra dengan bank, menyelenggarakan pelatihan kepada konsultan keuangan UKM dan memantau realisasi kredit kepada UKM (www.bisnis.com, 24/2/03). Selain itu, Kementerian Koperasi dan UKM juga mengambil peran dengan mengembangkan homepage (http://www.depkop.go.id), yang diharapkan dapat menjadi sarana penunjang bagi produsen maupun konsumen dalam melakukan transaksi bisnis dan meningkatkan jaringan usaha. Selanjutnya situs ini diharapkan dapat menjadi pendorong proses pemberdayaan koperasi dan UKM di Indonesia, karena situs ini menyajikan informasi aktual berkenaan dengan upaya pemberdayaan, pengembangan dan dinamika koperasi dan UKM di Indonesia.
Hal-hal tersebut di atas menunjukkan bahwa political will pemerintah untuk memberdayakan sektor UKM sudah ada dan sudah berlangsung lama. Sebut saja program pemerintah untuk usaha kecil seperti KCK (Kredit Candak Kulak), KUT (Kredit Usaha Tani), KIK (Kredit Investasi Kecil), KKPA (Kredit Koperasi Primer untuk Anggota), KUK (Kredit Usaha Kecil), dan lain-lain. Namun pertanyaannya adalah kenapa hingga saat ini sektor UKM masih termarjinalisasi ?

Sistem Pengelolaan UKM Konvensional
Masih termarjinalkannya sektor UKM ini sangat dimungkinkan karena sistem pengelolaannya yang tidak benar. Jika dipandang dari sudut syariah, maka pengelolaan dana untuk UKM tidak dapat dibenarkan secara syariah karena menggunakan sistem bunga (baca : riba). Pada sistem ini, pemerintah menyisihkan sebagian keuntungan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) untuk digunakan sebagai sumber dana PUKK (Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi). Dana tersebut kemudian disalurkan ke sektor UKM dan koperasi dengan sistem bunga yang besarannya lebih rendah daripada tingkat suku bunga bank di pasar. Contoh sederhana adalah kasus dana pinjaman sebesar Rp 7,2 miliar untuk koperasi dan UKM yang akan digulirkan oleh Dinas Koperasi dan UKM Jabar. Untuk pinjaman ini, sektor UKM dikenakan bunga pinjaman sebesar 16% per tahun (Republika, 15 April /03).
Selain tidak sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan, penerapan sistem bunga dalam proses pembinaan sektor UKM terbukti tidak berhasil mengangkat "martabat" sektor UKM. Bahkan beberapa kasus justru menunjukkan berbagai masalah antara lain kredit macet, penyimpangan penggunaan dari semula untuk pemberdayaan ekonomi justru terfokus ke pembiayaan konsumtif dan bahkan beredar di pasar uang antar bank. Jauh panggang dari api. Hal ini disebabkan oleh karena lembaga keuangan yang terlibat berusaha mengambil keuntungan bunga (spread margin) dari penyalurannya. Untuk menghindari risiko kredit sektor UKM yang pada umumnya tidak bankable, bank penyalur lebih memilih jalan aman dengan menyalurkannya ke sektor konsumtif dengan proporsi yang tidak berimbang dari sektor produktif. Pada akhirnya, motif mencari keuntungan bunga (spread margin) menjadikan bank lupa akan tujuan awalnya yakni memberdayakan sektor UKM.
Akibat nyata dari kegagalan ini terbukti dari kenyataan bahwa hingga saat ini sektor UKM masih belum memiliki kontribusi optimal dalam perekonomian nasional. Untuk itu, perlu dicari solusi alternatif pengelolaan UKM yang terbebas dari sistem bunga. Alternatif solusi yang saat ini nyata didepan mata adalah penerapan sistem syariah dalam pengelolaan dana untuk UKM.

Perbankan Syariah, Sistem Pengelolaan UKM Alternatif
Meskipun bagi sebagian kalangan agak sulit menerima penjelasan tentang dampak positif sistem syariah dibandingkan sistem bunga, namun tampaknya pemerintah harus memberikan kesempatan bagi sistem perbankan syariah untuk mengambil peran dalam pengelolaan dana tersebut mengingat kegagalan sistem bunga beberapa dekade lalu. Pola yang digunakan oleh bank syariah dapat dilakukan dengan menggunakan sistem bagi hasil. Penerapan sistem bagi hasil dalam proses pemberdayaan sektor UKM harus disadari sebagai bagian dari upaya meningkatkan kinerja sektor UKM dan perputaran usaha didalam negeri, dan bukan semata-mata "mengeruk" keuntungan bunga. Bukankah tujuan awal pengelolaan dana PUKK adalah untuk mengembangkan dan memberdayakan sektor UKM dan koperasi ?
Selama ini pemerintah tampaknya mencoba mencari keuntungan atau pendapatan bunga dari pengelolaan dana PUKK, sehingga melupakan filosofi dasar pengelolaan dana PUKK yakni untuk memberdayakan sektor UKM. Inilah tampaknya yang menjadi akar permasalahan sulitnya mengembangkan sektor UKM. Sebenarnya jika saja pemerintah tidak berorientasi pada pendapatan atau keuntungan bunga dana PUKK, maka keberhasilan pemberdayaan sektor UKM dapat mengangkat kesejahteraan dan implikasinya adalah meningkatkan jumlah obyek pajak. Dari sinilah sebenarnya dan seharusnya pemerintah memperoleh pendapatan negara. Dari tinjauan syariah Islam, perolehan pendapatan dari sektor pajak terasa "lebih bersih" ketimbang pendapatan dari bunga. Dan bahkan pemerintah akan memperoleh sumber dana lain yakni zakat penghasilan dari sektor UKM yang berhasil dikembangkan. Jika saja hal ini terjadi, maka bukan saja terlihat lebih "bersih", namun upaya ini akan memperoleh keberkahan dari Tuhan. Allah SWT mensinyalir hal ini dalam Al-Qur'an surat Ar-Ruum ayat 39 yang artinya : "Dan sesuatu riba (bunga) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridloan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)."

Skim Pendanaan UKM
Proses pemberdayaan UKM melalui perbankan syariah perlu memperhatikan beberapa hal antara lain skim pendanaan, skim penyaluran, dan skim restrukturisasi UKM bermasalah. Selain menggunakan sumber dana yang telah ada yakni sebagian keuntungan BUMN, sumber dana pengelolaan UKM juga dapat diperoleh dari Badan/Lembaga Amil Zakat berupa dana zakat, infaq, sedekah, wakaf dan lain-lain. Dengan demikian, akan diperoleh akumulasi dana yang lebih besar mengingat potensi kedermawanan masyarkat Indonesia masih cukup tinggi. Menurut Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC, 4/02), tingkat bersedekah (rate of giving) masyarakat Indonesia menunjukkan angka yang tinggi yang secara berurutan diberikan kepada perorangan (96%), lembaga keagamaan (84%), dan lembaga lain non-keagamaan (77%). Mengenai nilainya, menurut data BAZIS (Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah) DKI tahun 1996, potensi zakat di Indonesia mencapai Rp235,9 milyar per tahun. Potensi ini belum termasuk berbagai lembaga agama lain dan lembaga non-keagamaan yang sedang trend dan gencar membuka rekening amal. Sebut saja program seperti RCTI Peduli, Pundi Amal SCTV, Peduli Kasih Indosiar, TPI Peduli, Dompet Dhuafa Republika, Pro2 Peduli dan lain-lain yang mewakili lembaga non-keagamaan.
Untuk pengelolaan secara profesional, maka pemerintah harus memberikan kesempatan kepada perbankan syariah untuk mengelola dana tersebut di atas baik pengumpulan maupun penyalurannya. Hal ini sangat relevan jika pemerintah hendak mengubah sistem pengelolaan dana untuk UKM dengan sistem bagi hasil, karena perbankan syariah merupakan satu-satunya bank yang memiliki skim pembiayaan secara bagi hasil.

Skim Penyaluran Dana UKM
Penyaluran dana untuk UKM oleh perbankan syariah dapat dilakukan dengan skim musyarakah ataupun mudharabah. Kedua skim ini pada hakikatnya adalah penggabungan beberapa potensi dana dan profesionalisme dalam sebuah usaha dengan perjanjian saling berbagi hasil atas keuntungan yang akan diperoleh. Perbedaannya terletak pada komposisi dananya saja. Pada musyakarah, sektor UKM harus menyediakan dana tertentu sebagai porsi modal usaha, sedangkan pada skim mudharabah sektor UKM tidak perlu menyediakan modal. Kelebihan skim ini adalah tidak mutlak diperlukannya jaminan dan sistem angsuran yang disesuaikan dengan kinerja usaha. Hal ini tentunya dapat menjawab kesulitan UKM selama ini dalam berhubungan dengan bank, yakni jaminan. Disamping lebih adil dan tidak memberatkan, sistem angsuran yang disesuaikan dengan kinerja usaha dapat meningkatkan pendapatan pemerintah jika kinerja usaha sektor UKM meningkat.
Mencermati pola bagi hasil yang didasari kepercayaan antar pihak yang terlibat, maka dibutuhkan proses pendampingan yang optimal terhadap sektor UKM oleh bank ataupun pihak lain yang independen. Bentuk pendampingan yang diperlukan antara lain pembinaan aspek administrasi dan pengelolaan keuangan, pembinaan aspek manajerial, dan pembentukan akses UKM terhadap pasar. Hal inipun tampaknya sejalan dengan program pemerintah untuk membentuk satgas pendamping UKM. Keberhasilan proses pendampingan ini berdampak positif bagi UKM terutama dalam hal pengembangan profesionalisme sektor UKM.

Restrukturisasi UKM
Salah satu "pekerjaan rumah" pemerintah saat ini adalah bertumpuknya UKM bermasalah akibat krisis ekonomi yang melanda negeri ini. Untuk kasus ini, pemerintah harus segera mengambil upaya tegas memilah-milah kembali UKM bermasalah berdasarkan penyebabnya. Bagi UKM yang bermasalah akibat "salah urus" tidak perlu dilakukan pengampunan, tetapi harus segera dijual atau dialihkan (redistribusi) kepada pelaku usaha baru yang berpotensi dan tidak melakukan praktek moral hazard untuk menghindari idle resources atas asset-asset yang ada. Bagi UKM yang bermasalah akibat krisis ekonomi antara lain menurunnya daya beli masyarakat, naiknya harga bahan baku dan lain-lain, maka perlu dilakukan pengampunan dan restrukturisasi. Kebanyakan UKM jenis ini, hutangnya menjadi berlipat ganda akibat "argo" perhitungan bunga terus berjalan sepanjang belum dilunasinya pokok pinjaman. Ditinjau dari sudut pandang syariah Islam, proses pengampunan ini dapat dibenarkan antara lain dengan jalan menghapuskan hutang bunga. Dengan demikian, UKM hanya dibebani hutang pokok dan bukannya bunga atas pokok. Hal ini tentunya hanya relevan untuk UKM yang diserahkan pengelolaannya kepada bank syariah yang tidak mengenal sistem bunga. Hal ini secara tegas dikemukakan Allah SWT didalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 278-279 yang artinya : "Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa (dari berbagai jenis) riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya."

Penutup
Upaya pemberdayaan sektor UKM merupakan sebuah hal yang niscaya jika pemerintah hendak merintis upaya meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat, mengingat populasinya yang cukup padat di sektor ini. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa pemberdayaan UKM belum tercapai secara optimal bahkan terjadi banyak penyimpangan. Akibatnya sektor UKM bukannya terberdayakan malah semakin tidak berdaya ditengah perputaran roda ekonomi nasional yang dikuasai segelintir pengusaha besar. Penyimpangan mendasar yang terjadi adalah penyimpangan filosofi dasar tujuan pengelolaan dana PUKK dari pemberdayaan menjadi ajang mengeruk keuntungan bunga (spread margin). Tampaknya benarlah apa yang diungkapkan oleh Adi Sasono, Ketua Umum ICMI : "Tatkala ekonomi dipertimbangkan sebagai peristiwa yang seolah netral dan bebas nilai, maka sesungguhnya kita membenarkan prinsip hukum rimba, siapa kuat ia menang. Manusia dengan segala potensi kemuliaannya sebagai ciptaan Allah, tereduksi menjadi hewan ekonomi. Mereka yang lemah, makin tergusur dalam persaingan tidak seimbang, terpojok dalam keterbelakangan yang cenderung menetap, dalam kehidupan yang keras dan kejam. ...Pada gilirannya situasi ini akan makin memusatkan penguasaan sumber daya ekonomi di tangan sekelompok kecil orang." (The Future of Economics :An Islamic Perspective, 2001)
Sekaranglah saatnya pemerintah untuk memberikan kesempatan bagi perbankan syariah untuk mengambil peran dalam pengelolaan sektor UKM melalui sistem bagi hasil. Selain memenuhi nilai-nilai ketuhanan, sistem ini pada saatnya akan mampu memberikan kontribusi berupa perluasan sumber dana dan peningkatan jumlah obyek pajak. Kesemuanya ini kemudian akan bermuara kepada sistem kehidupan yang berkeadilan menuju kesejahteraan ummat. Pada akhirnya kita mesti yakin dengan kemenangan yang dijanjikan Allah : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan/kemenangan" (QS. Ali Imran : 130). Rizki dan keuntungan yang tidak disangka-sangka pun akan bermunculan sebagaimana firman Allah : "...dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, dijadikan baginya jalan keluar (solusi). Dan diberikan untuknya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka..." (QS. Ath-Thalaq : 2-3).
Wallahu'alam bishawwab. Hasbunallah wani'mal wakiil, ni'mal maula wani'mannatsiir.

Sunarto Zulkifli

No comments: