Oleh Donald Banjarnahor
JAKARTA, BISNIS.COM: Bank Indonesia memastikan belum akan memperketat aturan minimal uang muka pembiayaan perumahan pada industri perbankan syariah, karena belum terlihat indikasi investasi bersifat spekulatif.
Edy Setiadi, Direktur Perbankan Syariah Bank Indonesia (BI), mengatakan bank sentral masih memantau perkembangan kinerja pembiayaan perumahan di industri sebelum mengeluarkan aturan minimal uang muka 30%, seperti yang telah diberlakukan lebih dulu di konvensional.
“Kalau dilihat dalam porsi pembiayaan bank syariah masih relatif untuk rumah sederhana. Nilai pembiayaan lebih yang kecil—kecil. Jadi kami belum akan mengatur FTV [financing to value] ke arah sana,” ujarnya hari ini Jumat 4 Mei 2012.
Bank sentral, lanjutnya, akan mengawasi agar pembiayaan pemilikan rumah (PPR) di industri syariah tidak bergeser untuk investasi spekulatif yang dapat memicu gelembung (bubble) pada sektor properti.
“Kami juga akan melihat kontribusi pertumbuhannya ke arah mana. Apakah terpusat di perkotaan atau tempat yang sudah jenuh. Selain itu, rasio pembiayaan permasalahan [non performing financing] juga akan kami lihat,” jelasnya.
Saat ini, lanjut Edy, portofolio PPR memiliki porsi sekitar 10% dari total pinjaman yang disalurkan oleh industri syariah. Adapun total portofolio pembiayaan pada akhir Maret 2012 senilai Rp126 triliun.
Seperti telah diberitakan sebelumnya, BI telah mengeluarkan kebijakan minimal uang muka 30% untuk kredit pemilikan rumah (KPR) dengan luas minimal 70m2, khusus bagi perbankan konvensional. Bagi bank syariah masih berlaku ketentuan yang lama, yakni uang muka minimal 20%.
Kebijakan relaksasi bagi industri syariah tersebut, dinilai sejumlah bankir merupakan potensi untuk mengembangkan portofolio PPR, di kala KPR konvensional diprediksi akan terhambat.
Aviantono Hadhianto, Pemimpin Unit Usaha Syariah Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur (Bank Jatim), mengatakan momentum ini cukup bagus untuk memperkenalkan PPR syariah yang memiliki keunggulan yang berbeda dengan konvensional.
“Di satu sisi nasabah bisa mendapatkan uang muka yang rendah, yakni hingga 10%. Selain itu mereka juga bisa mendapatkan pembiayaan dengan margin yang tetap sampai akhir pembiayaan,” ujarnya.
Namun dia memberikan catatan, tanpa ada kreatifitas pernjualan dari perbankan syariah maka peluang akselerasi pembiayaan tersebut akan sia-sia. “Ini harus dibarengi cara menjual produk dan mempromosikannya,” ujarnya.
Dia menargetkan portofolio PPR Bank Jatim Syariah akan meningkat dua kali lipat pada pertengahan tahun ini dibandingkan dengan saat ini sekitar Rp30 miliar.
“Kami baru saja melakukan pertemuan dengan 12 developer perumahan di wilayah Surabaya, Malang dan Sidoarjo dan mereka sepakat untuk menggunakan pembiayaan bank syariah karena uang muka bisa lebih murah.”
Hal serupa juga dikatakan oleh Kepala Unit Usaha Syariah PT Bank Permata Tbk Achmad K. Permana. “Apakah kebijakan FTV bagi bank syariah akan keluar 6 bulan lagi atau setahun lagi, tetap merupakan potensi bagi perbankan syariah untuk memperbesar pembiayaan,” ujarnya.
Dia menjelaskan Permata Syariah siap menampung permohonan KPR dengan uang muka di bawah 30%, yang sudah tidak bisa diproses lagi oleh Bank Permata konvensional.
Menurut dia, peralihan dari KPR ke konvensional ke syariah merupakan salah satu keunggulan model bisnis dari bank yang memiliki UUS. “Kalau bank itu tidak punya UUS, tentu mereka tidak bisa dengan mudah mengalihkan permohonan KPR yang masuk.”
Permata Syariah saat ini memiliki fokus bisnis pembiayaan perumahan yang sama dengan induk, yakni membiayai perumahan kelas menengah ke atas. Sebanyak 30%-40% KPR yang dibiayai di Bank Permata konvensional memiliki tingkat uang muka di bawah 30%.
Akhir triwulan I/2012. Jumlah portofolio PPR Permata Syariah mencapai Rp960 miliar dan memiliki porsi sekitar 25% dari keseluruhan pinjaman yang hampir mencapai Rp4 triliun. (sut)