Urusan cicil mencicil tampaknya sudah menjadi suatu kebudayaan baru di negeri ini. Lihat saja ‘demam’ kartu kredit dimana-mana seperti Citibank, Standard Chartered Bank, Bank BNI, Bank BII, dan lain-lain. Selain bank, lembaga keuangan non bank ternyata juga sudah mulai merambah kebudayaan baru ini seperti GE, Sumber Kredit, Columbia dan lain-lain. Gejala ini tampaknya bukan saja merupakan kebudayaan baru, tetapi juga sudah menjadi gaya hidup. Kenapa ? Bagaimana tidak, kalau saat ini orang bahkan berlomba-lomba memperoleh kartu kredit. Bahkan kartu kredit sudah menjadi kebanggaan tersendiri bagi pemiliknya. Pemilik kartu kredit seperti memiliki status sosial tersendiri yang jauh lebih tinggi ketimbang orang yang tidak memilikinya. Gaya hidup seperti ini sebenarnya telah lama dikenal, terutama untuk pengadaan rumah dan kendaraan yang lebih dikenal dengan nama KPR (kredit pemilikan rumah) dan KPKB (kredit pemilikan kendaraan bermotor). Bahkan ada idiom yang cukup tenar.. singkatan KPR BTN adalah Kepingin Punya Rumah, Bayar Tapi Nyicil…
Minimal ada 2 (dua) motivasi utama munculnya gaya hidup “cicil mencicil” ini. Motivasi pertama adalah investasi. Hal ini cenderung dilakukan oleh orang-orang yang memiliki dana berlebih. Dengan menggunakan sistem cicilan, maka diharapkan akan terjadi penundaan penggunaan dana, sehingga dapat dialihkan untuk tujuan investasi. Sedangkan motivasi yang kedua adalah keharusan. Hal ini dilakukan oleh orang-orang yang tidak memiliki dana secara tunai. Tampaknya alasan yang kedua ini merupakan motivasi yang terbesar dari masyarakat yang menggunakan sistem cicilan untuk pengadaan rumah atau kendaraan. Hal ini merupakan implikasi dari tingginya harga pengadaan barang apabila dibandingkan dengan penghasilan yang dimiliki. Bahkan ada frase yang cukup tenar : “Kalau tidak mencicil, kapan bisa punya barang ?”. Apapun motivasinya, secara tidak sadar kita telah membentuk suatu kebudayaan baru, “cicil mencicil”.
Efek Negatif Budaya “Cicil Mencicil”
Akibat iming-iming kemudahan yang akan diperoleh, masyarakat berbondong-bondong mencari fasilitas cicilan dari bank ataupun lembaga keuangan non bank (multi finance). Begitu semangatnya, hingga tanpa sadar masyarakat peminat cicilan mulai terikat dengan sistem bunga yang memang biasa digunakan oleh bank ataupun mutli finance. Masyarakat tidak lagi memperhatikan sifat dasar bunga yang cenderung fluktuatif.
Hingga suatu saat dimana terjadi krisis ekonomi yang datangnya begitu mendadak dan tidak disangka-sangka. Tepatnya diawal bulan November 1997, pemerintah mengumumkan penutupan mendadak beberapa bank swasta nasional. Peristiwa tersebut berimplikasi kepada pengangguran besar-besaran, rush (penarikan uang dari bank oleh nasabah), demonstrasi besar-besaran oleh masyarakat yang tidak sempat menarik dananya dan yang paling terasa adalah berkurangnya kepercayaan masyarakat domestik dan internasional terhadap sistem perbanakan di Indonesia. Mulai saat itu, berbagai bencana mulai menimpa secara beruntun, antara lain : terhambatnya proses produksi produk impor karena LC (Letter of Credit) dari Indonesia tidak diterima/percaya oleh eksportir di luar negeri, melemahnya rupiah akibat aksi borong dollar oleh para spekulan dan pengusaha dalam rangka pembayaran hutang dan yang terakhir adalah naiknya harga semua barang kebutuhan masyarakat.
Permasalahan terbesar bagi perbankan adalah negative spread. Untuk mempertahankan dan sekaligus menghimpun dana masyarakat (nasabah deposan/penabung), maka bank menaikkan tingkat suku bunga deposito. Dan kenaikkan tingkat suku bunga ini kemudian dibebankan kepada para kreditur (peminjam) dengan tingkat suku bunga yang hampir tidak masuk akal. Pada akhir tahun 1997 hingga awal 1998, tingkat suku bunga kredit mencapai 120 %. Secara logika sederhana saja, tidak ada usaha sektor riil apapun yang mampu bertahan dengan tingkat suku bunga sebesar itu. Akibatnya, bukannya membaik malahan meningkatkan jumlah kredit macet di berbagai sektor.
Efek langsung yang dirasakan oleh masyarakat peminat cicilan adalah kenaikan tiba-tiba harga cicilan yang harus dibayar tanpa pemberitahuan terlebih dulu. Ada kasus kenaikan cicilan rumah yang biasanya hanya dua ratus ribu rupiah sebulan tiba-tiba naik menjadi hampir tiga kali lipat yaitu Rp500 ribu sebulan. Kasus ini merupakan salah satu kasus dari ribuan kasus serupa di berbagai pelosok negeri ini. Makanya tidak heran kalau banyak masyarakat yang mengeluhkan hal ini. Namun demikian, pihak kreditur yakni bank dan lembaga keuangan lainnya, ternyata berada di pihak yang benar secara hukum positif. Dalam akad kredit dengan tegas dinyatakan bahwa bank berhak mengubah tingkat suku bunganya tanpa pemberitahuan terlebih dulu. Implikasinya adalah terjadi kredit macet besar-besaran dalam beberapa bulan ke depan setelah itu, dan bahkan ada yang sampai pada kondisi pengambilalihan kepemilikan oleh bank. Masyarakat peminat cicilan hanya bisa mengeluh tanpa tahu kemana harus meminta perlindungan.
Selain permasalahan di atas, sebenarnya masih banyak implikasi negatif lainnya dari penerapan sistem bunga antara lain : krisis ekonomi, inflasi yang tiada henti, dan mempercuram jarak antara kaya dan miskin.
Budaya Yang Tak Pernah Surut
Ibarat seorang pahlawan yang pantang mundur, budaya cicil mencicil ternyata tak pernah surut meski banyak contoh kasus yang terjadi di masa krisis moneter yang nota bene masih terus berlangsung hingga kini. Saat ini orang seakan melupakan kasus awal mula krisis ekonomi nasional di tahun 1997 dan kembali menikmati budaya cicil mencicil. Padahal kondisi ekonomi negara ini dapat dikatakan masih belum seluruhnya pulih, bahkan cenderung memburuk akibat ketidakmampuan pemerintah untuk memberantas KKN secara lebih cepat.
Namun demikian, apabila melihat tingkat kebutuhan yang meningkat, maka budaya cicil mencicil tidak dapat dikatakan sepenuhnya negatif. Hal ini disebabkan budaya ini menyangkut kebutuhan primer setiap orang, seperti rumah dan kendaraan. Jadi jika melihat hal ini, maka cicil mencicil bukanlah budaya yang harus dihilangkan. Namun demikian, yang perlu dilakukan adalah memperkecil resiko tersebut. Bagaimana caranya ?
Mencicil Secara Aman dengan Murabahah
Satu-satunya cara menepis resiko di atas adalah berpaling kepada perbankan syariah. Mengapa ? Jawabannya sangat singkat, yakni karena bank syariah tidak mengenal sistem bunga. Pada bank syariah, budaya cicil mencicil terakomodasi dengan suatu prinsip yakni al-murabahah. Berbeda dengan perbankan konvensional yang menggunakan sistem bunga, maka murabahah menggunakan sistem margin keuntungan. Hal ini karena murabahah merupakan prinsip jual beli, dimana seorang pemilik barang dapat melakukan penjualan dengan harga tertentu yang memperhitungkan margin keuntungan bagi penjualnya.
Persoalannya adalah bagaimana bank syariah menentukan nilai margin keuntungan suatu transaksi ? Walaupun kaum ahli dan praktisi perbankan syariah tengah masih terus melakukan penelitian untuk menentukan acuan penentuan margin keuntungan, pada kenyataannya bank syariah memang masih mengacu kepada tingkat suku bunga pasar yang ada. Dengan demikian, pada beberapa kasus seringkali ditemukan kondisi dimana nilai cicilan di bank syariah hampir sama dengan bank konvensional. Bahkan implikasi negatifnya adalah munculnya pemikiran skeptis yakni “…ternyata bank syariah tidak ada bedanya dengan bank konvensional….”. Benarkah ?
Ada satu hal yang terlupakan yakni bahwa prinsip dasar bank syariah dalam memberikan pembiayaan adalah prinsip jual beli. Dengan demikian nilai pembiayaan yang diberikan kepada nasabah merupakan nilai jual barang yang tidak akan berubah hingga transaksinya selesai dan bukan nilai pinjaman uang yang tergantung kondisi bunga saat itu. Bank syariah tidak diperkenankan mengubah-ubah harga jual barang meskipun terjadi perubahan nilai suku bunga pasar. Sebagai contoh, apabila anda ingin membeli rumah seharga lima puluh juta rupiah dengan sistem cicilan selama satu tahun, maka bank akan membelikan terlebih dahulu rumah dimaksud dan akan dijual kembali kepada anda dengan harga lima puluh juta ditambah margin keuntungan sebesar sepuluh juta rupiah dan dicicil selama satu tahun. Besarnya harga jual rumah oleh bank adalah enam puluh juta rupiah dengan sistem cicilan selama satu tahun. Nilai enam puluh juta tersebut merupakan nilai jual akhir yang tidak akan berubah hingga masa cicilan selesai walaupun terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti kenaikan tingkat suku bunga bank di pasar. Baik terjadi penurunan ataupun kenaikan tingkat suku bunga dalam sistem ekonomi nasional, besarnya cicilan anda tetap sama seperti semula. Bank ataupun lembaga pembiayaan lainnya paling-paling hanya mampu menebar janji untuk memberikan fied rate selama 1 tahun, dan selanjutnya tergantung pasar.
Sekarang mari kita bandingkan dengan sistem konvensional. Apabila anda ingin membeli rumah seharga lima puluh juta rupiah, maka bank konvensional akan memberikan pinjaman lima puluh juta rupiah dengan tingkat bunga 20% per tahun. Walaupun cicilannya sama dengan bank syariah, namun jika terjadi perubahan tingkat suku bunga maka jumlah cicilan bunga pun akan meningkat. Mencermati kedua contoh kasus tersebut, maka sistem murabahah dari bank syariah merupakan sistem teraman yang dapat dipilih oleh masyarakat peminat cicilan.
Aman di dunia, aman di akhirat
Uraian di atas merupakan suatu gambaran singkat yang mengindikasikan bahwa mencicil dengan sistem murabahah dari bank syariah merupakan metode yang aman secara materiil atau dapat dikatakan duniawi. Selain itu, bertransaksi dengan sistem murabahah dari bank syariah merupakan transaksi yang aman di sisi Tuhan. Hal ini karena transaksi murabahah merupakan pesaing utama yang mampu mengalahkan sistem bunga (baca : riba) yang dibenci Tuhan. Ajaran agama manapun pada dasarnya tidak membolehkan perlakukan bunga atau riba dalam sistem ekonomi, karena sistem bunga (riba) diciptakan dalam kondisi sekularisasi kehidupan beragama dari kehidupan duniawi. Jadi selain aman didunia, maka mencicil dengan sistem murabahah juga aman di akhirat (di sisi Tuhan). Dan jika anda meninggalkan transaksi yang dibenci Tuhan, maka tidak ada lagi balasannya kecuali kebaikan yang berlipat ganda di dunia dan di akhirat.
Sunarto Zulkifli
No comments:
Post a Comment