Wednesday, March 26, 2008

SISTEM BUNGA DAN KRISIS NASIONAL

Terlepas dari halal haramnya bunga bank, saya merasa bahwa perkembangan sistem perbankan syariah tidak seratus prosen bergantung kepada fatwa MUI tentang haramnya bunga bank. Secara rasional, masyarakat akan memilih sendiri sistem mana yang lebih baik, seiring dengan semakin cerdasnya masyarakat terhadap kondisi perekonomian negeri ini. Masyarakat saat ini sudah semakin sadar bahwa krisis nasional yang masih terasa hingga saat ini lebih disebabkan oleh krisis perbankan yang melanda negeri ini beberapa tahun lalu.

Rontoknya sistem perbankan nasional yang ditandai oleh likuidasi bank beberapa tahun silam tepatnya November 1997, telah menyebabkan sistem perekonomian nasional menjadi kacau. Likuidasi beberapa bank nasional telah menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat domestic dan internasional saat itu, yang ditandai dengan terjadinya rush (penarikan uang besar-besaran) dan ditolaknya L/C Indonesia diluar negeri. Kejadian tersebut kemudian memiliki efek domino yang sangat luas dan cepat merambah segala sektor ekonomi. Jangan heran jika saat itu harga-harga kebutuhan pokok meningkat tajam sebagai akibat jatuhnya nilai kurs rupiah hingga mencapai Rp15,000 per dollar. Pada saat yang sama, nasabah perbankan konvensional baru merasakan akibatnya. Tingkat suku bunga kredit perbankan tiba-tiba saja berubah menjadi sangat tinggi, bahkan pernah mencapai tingkat suku bunga diatas 75% per tahun. Saat itu, banyak konsumen KPR (Kredit Pemilikan Rumah) yang harus merelakan rumahnya disita karena tidak sanggup membayar angsuran yang meningkat akibat perubahan nilai suku bunga, dari semula angsurannya hanya sebesar Rp250 ribu sebulan tiba-tiba membengkak menjadi Rp750 ribu rupiah sebulan. Nasabah importir pun tidak kalah “matinya”. Hutangnya dalam dollar tiba-tiba saja membengkak karena nilai tukar dollar saat jatuh tempo pembayaran L/C meningkat dari Rp2,500 per dollar menjadi Rp12,000 per dollar. Maka jangan heran jika banyak kredit macet saat itu, bukan karena usahanya yang tidak berputar tetapi lebih karena perubahan nilai suku bunga di pasar uang antar bank (PUAB). Kenapa hal ini bisa terjadi ?

Rusaknya sistem perbankan nasional lebih disebabkan oleh ketidakmampuan bank membayar kewajiban bunga yang besarannya tetap, tanpa harus dikaitkan dengan kemampuan bank mencetak laba dari pendapatan bunga kredt. Akibatnya terjadilah apa yang disebut sebagai negative spread, yaitu suatu kondisi dimana pendapatan bunga bank lebih kecil daripada kewajiban bunga. Seiring dengan berputarnya waktu, sesuai dengan konsep time value of money, tingkat negative spread akan semakin tinggi. Beberapa bank yang tidak mampu lagi menanggung negative spread, kemudian mengajukan usulan untuk memperoleh BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), yakni sebuah skema bantuan yang hingga saat ini rasanya belum pernah usai. Dan pada akhirnya, kita pun akan bertanya dari mana dana BLBI berasal ? Pertanyaan yang sangat naïf, tapi wajar saja muncul. Yang pasti adalah : “dari rakyat, untuk konglomerat”. Pada saatnya, Bank Indonesia memiliki nilai ambang batas dimana BLBI tidak lagi bisa diberikan. Saat itulah terjadi proses likuidasi bank. Efek domino selanjutnya adalah krisis ekonomi sebagaimana telah dibahas di atas.

Mencermati hal-hal tersebut di atas, maka tidaklah berlebihan jika kita menarik benang merah bahwa krisis yang masih terasa hingga kini disebabkan salah satu permasalahan yakni implementasi sistem bunga, selain pastinya moral. Namun demikian yang mengherankan adalah kenapa bangsa ini tidak mau belajar dari pengalaman ? Kita masih saja mau diiming-imingi oleh hadiah beraneka ragam ataupun bunga tinggi untuk sekadar menabung di bank konvensional. Jika saja kita mau belajar dari pengalaman, maka kita akan tahu bahwa implementasi sistem bunga pada perbankan konvensional jauh lebih menakutkan dibandingkan dengan dampak pencurian sebagaimana telah dicontohkan filosuf Yunani, Cato.

No comments: