Ada seorang tua bertanya kepada saya. Ia adalah pensiunan PNS, setiap bulannya menerima tunjangan pensiun yang dikredit ke tabungan di Bank X (konvensional). Apakah berdosa ? Apa yang harus saya dilakukan ?
Jawab :
Tidak semua transaksi di bank konvensional itu haram. Batasannya adalah selama Bapak/Ibu tidak melakukan transaksi bunga. Transaksi seperti transfer, kliring, inkasso dan lain-lain tidak termasuk yang diharamkan karena merupakan transaksi jasa yang tidak terkait dengan bunga.
Dana yang Bapak terima setiap bulan di Bank X tidak berdosa asalkan langsung ditarik atau ditransfer ke rekening di bank Syariah, sehingga tidak akan memperoleh bunga dari bank ybs.
Yang harus Bapak/Ibu lakukan antara lain :
i. Mendatangi kantor Bank Syariah Mandiri terdekat (catatan : karena saat ini BSM sudah bisa melayani pembayaran pensiun)
ii. Hubungi Customer Service untuk pembukaan tabungan
Mudahkan...
Sunarto zulkifli
Tuesday, April 29, 2008
Tuesday, April 22, 2008
Met Ultah Mama
Hari ini ibu mertua saya ultah... Met ultah ya mah.. semoga hidupnya makin barokah... diberikan kesehatan. Terima kasih sudah mendidik kami...
Btw, kebetulan mertua saya ini kembar loh... berarti saya ada peluang punya anak kembar ya.. he..he..
Dulu saya masih sering ketukar... Lucu juga kadang-kadang..
Btw, kebetulan mertua saya ini kembar loh... berarti saya ada peluang punya anak kembar ya.. he..he..
Dulu saya masih sering ketukar... Lucu juga kadang-kadang..
Konsep Investment Banking Dalam Perbankan Syariah
“Implementasi Mudharabah Muqayyadah dalam Perbankan Syariah”
Secara defenisi, investasi adalah menggunakan dan memanfaatkan uang untuk mendapatkan uang lebih banyak lagi, dengan cara menempatkan uang tersebut pada usaha yang diharapkan akan meningkat nilainya pada masa yang akan datang. Usaha dimaksud adalah usaha di sektor riil (tangible economic equity). Berbeda dengan investasi lainnya, investasi syariah memiliki spesifikasi yang lebih khusus antara lain : tidak mengenal sistem bunga, mempertimbangkan kehalalan usaha, dan keadilan transaksi. Investasi syariah tidak hanya melulu bicara tentang making money, tetapi juga memperhatikan nilai-nilai spiritual, keadilan dan kemaslahatan. Dengan demikian, maka pola investasinya akan menjadi lebih rumit, terutama bagi sebagian orang yang tidak memiliki semangat spirituil sejati. Namun begitulah adanya, sebagaimana firman Tuhan yang menyebutkan bahwa perjalanan menuju syurga itu menanjak, berbatu dan berliku. Sangat berbeda dengan perjalan menuju neraka yang landai, lurus dan mulus.
Skim Investasi Syariah
Meskipun belum banyak digeluti oleh sebagian orang, ternyata investasi syariah memiliki keragaman yang lebih luas ketimbang skim inestasi non syariah. Ada beberapa skim investasi syariah yang dapat dijadikan acuan, antara lain :
a. Pembiayaan Modal Kerja (Working Capital Financing Fund)
Skim ini bertujuan untuk memperoleh pengembalian yang optimum dengan jadual pembayaran yang sudah ditentukan. Dalam skim ini, transaksi dipecah menjadi 2 akad, yang terpisah yaitu: Murabahah dan Mudharabah secara proporsional. Dengan begitu, diharapkan akan diperoleh pendapatan yang tetap dari transaksi murabahah. Sementara itu, investor akan memperoleh penghasilan yang berfluktuasi dari transaksi mudharabah. Namun demikian, skim ini ditentang oleh Zainul Arifin dengan alasan bahwa tujuan investor adalah investasi, dan bukannya bertransaksi jual beli (murabahah).
b. Skim Proteksi Modal (Capital Protection Investment Scheme)
Tujuan utama skim ini adalah mencapai keuntungan yang optimum dengan mekanisme perlindungan (dalam mata uang asing) sesuai dengan Syariah Islam. Dalam skim ini, transaksi murabahah dilakukan dengan pemilik perusahaan dan disaat yang sama melakukan transaksi mudharabah dengan anak perusahaan (portofolio). Dengan struktur investasi tersebut, transaksi mudharabah terproteksi oleh transaksi Murabahah dengan sistem pendapatan yang fix.
c. Murabahah Property Fund
Objektif skim ini adalah memberikan penghasilan yang stabil dengan menetapkan pembayaran tetap tahunan dalam mata uang US Dollar (asing). Transaksi dalam skim ini didasarkan atas Murabahah dengan ekspektasi waktu pengembalian 5 tahun. Dana akan diinvestasikan dalam pembelian penghasilan/pembayaran yang didapat dari properti dan selanjutnya properti tersebut segera dijual kembali secara Murabahah kepada perusahaan dalam jangka waktu 5 tahun.
d. Al-Manzil Fund Scheme
Tujuan investasi dengan skim ini adalah memperoleh hasil jangka panjang dari investasi “Asset backed securities” dengan perlindungan mata uang rupiah (domestic currency) mengikuti prinsip Syariah Islam. Skim ini digunakan untuk pembiayaan pengadaan rumah, dan diproyeksikan untuk menggantikan produk KPR. Skim investasi ini sepenuhnya dilakukan atas dasar Mudharabah antara Investor dan manager Investasi, dengan dukungan Mortgage Agreement dan Buy Back Guarantee. Pada skim ini digunakan beberapa akad antara lain : mudharabah antara bank dengan investor, istishna’ antara bank dengan pengembang, serta sewa beli dan murabahah antara bank dengan konsumen. Skim ini akan menjadi skim yang mampu berdiri sendiri (bebas pengaruh fluktuasi suku bunga), manakala investor-investor tersebut juga merupakan kumpulan konsumen akhir.
Islamic Money Market.
Pada sistem yang lebih makro, investasi syariah dapat berpartisipasi dalam sistem pasar uang yang saat ini telah banyak dikenal. Namun demikian, banyak modifikasi yang perlu dilakukan jika ingin ikut berpartisipasi dalam pasar uang. Dalam sistem ekonomi Islam, beberapa ulama dan praktisi lebih banyak menyebutnya sebagai Pasar Keuangan bukannya Pasar Uang, atau lebih dikenal dengan istilah Islamic Money Market. Tujuan pengadaan Islamic Money Market adalah untuk menyediakan fasilitas likuiditas dengan tingkat pengembalian yang kompetitif serta sesuai dengan prinsip Syariah Islam.
Struktur Investasinya dilakukan secara simultan. Pertama, dana kelolaan akan didaftarkan pada BAPEPAM (Badan Pengawas Pasar Modal). Dana dimaksud kemudian akan dipisahkan antara portofolio Rupiah dan US Dollar (foreign Currency). Portofolio dalam bentuk rupiah akan diinvestasikan dalam skim Ijarah atau Murabahah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. Portofolio dimaksud maksimal terdiri dari 10 saham yang sangat likuid yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Sementara itu, portofolio US Dollar (Foreign Currency) akan diinvestasikan pada produk-produk investasi dalam bentuk US Dollar yang diterbitkan oleh Bank Islam Internasional yang kredibel.
Aktivitas investasi harus sesuai dengan kebutuhan akan Dewan Syariah Islam yang kredibel. Maksimal Investasi pada Ijarah/Murabahah adalah 80% dari total nilai asset, dan investasi pada saham-saham lain terbatas pada 10 besar saham yang paling likuid dengan tingkat volatilitas yang rendah.
Implementasi Sistem Investasi Pada Perbankan Syariah
Saat ini harus diakui bahwa perkembangan perbankan syariah masih lamban. Hal ini terlihat dari komposisi asset perbankan syariah yang tidak mencapai 1% daripada total asset perbankan nasional. Hal ini dapat dimaklumi karena sistem perbankan syariah memerlukan proses edukasi yang panjang bagi masyarakat dan bahkan para pelaku perbankan syariah sendiri. Salah satu pola fikir masyarakat yang harus diubah adalah mengubah pola hidup menabung menjadi pola hidup berinvestasi. Saat ini masyarakat lebih senang menabung daripada berinvestasi karena tanpa harus bekerja akan selalu memperoleh bunga yang besar dan tetap setiap bulannya. Selain itu, pokok tabungannya pun dijamin oleh pemerintah. Pola hidup seperti ini kemudian menghasilkan manusia-manusia pemalas yang ingin mendapat uang banyak tanpa ingin bekerja. Dampaknya bagi perekonomian nasional sudah dapat diduga, yakni stagnasi sektor riil akibat tidak sinkron dengan sektor perbankan.
Bagi praktisi perbankan sendiri, harus segera dilakukan perubahan dan pelurusan konsep tabungan dan investasi. Tabungan itu bukanlah mudharabah melainkan wadiah. Perbankan syariah harus segera melakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang karakteristik investasi, terutama adanya peluang untung – rugi. Sedangkan skim investasi seperti mudharabah dan musyarakah harus segera diubah dari konsep revenue sharing menjadi profit sharing.
Mudharabah Muqayyadah
Dalam implementasinya di sistem perbankan syariah, terdapat kesalahan persepsi di kalangan masyarakat ekonomi syariah yakni selalu menggandengkan antara akad-akad fiqh dengan transaksi perbankan modern. Sebagai contoh jika bicara tentang ijarah maka pasti leasing, jika bicara tentang mudharabah muqayyadah maka pasti disimpulkan bahwa itu adalah direct investment. Padahal keduanya sama sekali tidak ada hubungannya. Dalam satu transaksi perbankan, dapat dilakukan dengan beberapa macam akad fiqh. Sebagai contoh, mudharabah muqayyadah tidak mesti digunakan untuk direct investment saja, tetapi juga dapat digunakan untuk transaksi bank lainnya. Konsep transaksi suatu produk perbankan dapat dibentuk dalam beberapa alternatif akad fiqh. Namun demikian, kemudian dipilih alternatif terbaik dengan kriteria : kehalalan transaksi, kemudahan implementasi dan
profitability transaksi.
Transaksi mudharabah muqayyadah tidak mesti berdiri sendiri, namun juga dapat dikombinasikan dengan skim lanjutan yang bentuknya bisa beraneka ragam, seperti murabahah, salam, ijarah dan lain-lain. Transaksi mudharabah muqayyadah terdiri dari 2 (dua) skema besar yakni off balance sheet dan transaksi on balance sheet. Transaksi mudharabah muqayyadah off balance sheet inilah yang bisa disebut sebagai direct investment. Pada transaksi ini, penandatanganan akad terjadi antara investor (shahibul maal) dengan pengusaha (mudharib). Bank sama sekali tidak terlibat dalam akad dimaksud. Dalam transaksi ini, bank hanya bertindak sebagai arranger saja sehingga tidak berhak memperoleh bagi hasil hanya arranger fee saja. Keterikatan bank dengan para pihak yang terlibat (investor dan pengusaha) dapat dilakukan dengan 2 (dua) akad yakni : akad simsar/samsarah dan akad jo’alah. Akad simsar terjadi jika bank bertindak menyediakan jasa untuk mempertemukan antara investor dan mudharib. Pada sistem ini bank biasanya membuat Info Memo tentang bisnis tertentu untuk kemudian ditawarkan kepada para investor. Bank menjamin kebenaran data didalam Info Memo tersebut, tetapi tidak bertanggung jawab atas risiko bisnis dimaksud. Sedangkan pada akad jo’alah, bank bertindak sebagai agen dari investor untuk mencari bisnis dengan karakteristik yang ditentukan investor (menyangkut profil usaha, tingkat risiko, tingkat return, dan lain-lain). Atas jasa bank tersebut, investor akan memberikan arranger fee.
Selain off balance sheet, mudharabah muqayyadah dapat juga dilakukan secara on balance sheet. Prinsipnya adalah apabila investor memberikan suatu syarat tertentu pada investasi yang dilakukannya, maka itulah yang dimaksud dengan mudharabah muqayyadah. Sehubungan dengan itu, bank dapat menciptakan produk investasi sebagaimana deposito dengan persyaratan tertentu misalnya investasi untuk sektor tertentu seperti pertanian, manufaktur dan jasa atau berdasarkan akad yang digunakan seperti dalam rangka penjualan cicilan, penyewaan cicilan dan kerja sama usaha. Yang terpenting dalam transaksi on balance sheet adalah kesesuaian cash flow yang diterima bank dari investor dengan penerimaan bank dari mudharib, sehingga bank tidak perlu melakukan pembayaran setiap bulan manakala pengembalian yang dilakukan mudharib setelah 3 bulan.
Metode bagi hasil dapat dilakukan dengan metode : cluster pool of fund, project sharing dan arranger fee. Cluster pool of fund adalah sistem dimana bank memberikan pilihan alternatif investasi berdasarkan jenis transaksi seperti jual-beli, sewa menyewa dan lain-lain. Project Sharing adalah sistem dimana alternatifnya berdasarkan jenis proyek usaha seperti pertanian, pertambangan, transportasi dan lain-lain. Sedangkan arranger fee adalah sistem dimana bank hanya bertindak sebagai perantara saja.
Penutup
Pola hidup dengan semangat investasi merupakan hal yang sangat krusial untuk dikembangkan ditengah sistem perekonomian yang sedang berkembang seperti saat ini. Di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat yang tingkat pendidikan masyarakatnya sudah beberapa langkah lebih maju, lembaga keuangan yang memiliki perkembangan lebih cepat justru pasar modal. Hal ini mengindikasikan bahwa skim investasi lebih diminati oleh masyarakat. Dengan pola investasi, masyarakat dapat memantau secara langsung kinerja usaha yang diminati. Hal yang sangat bertolak belakang dengan sistem perbankan dengan bunga tetap. Di negara lain seperti Jepang, bahkan pemerintah sangat mendukung semangat investasi dengan menurunkan tigkat suku bunga hingga mendekati angka 0% atau lebih dikenal dengan nil interest. Untuk negara maju berkembang seperti Indonesia, semangat investasi sangat dibutuhkan. Jika demikian, sekaranglah saatnya untuk mengubah pola hidup dari menabung ke investasi. Namun perubahan besar seperti ini bukanlah hal mudah, dibutuhkan kekuatan besar untuk mengubahnya. Siapakah The Power Of Change itu ? Saya yakin semua pihak setuju jika Bank Syariah adalah the power of change.
Wallahu’alam bishawab
Sunarto Zulkifli
Secara defenisi, investasi adalah menggunakan dan memanfaatkan uang untuk mendapatkan uang lebih banyak lagi, dengan cara menempatkan uang tersebut pada usaha yang diharapkan akan meningkat nilainya pada masa yang akan datang. Usaha dimaksud adalah usaha di sektor riil (tangible economic equity). Berbeda dengan investasi lainnya, investasi syariah memiliki spesifikasi yang lebih khusus antara lain : tidak mengenal sistem bunga, mempertimbangkan kehalalan usaha, dan keadilan transaksi. Investasi syariah tidak hanya melulu bicara tentang making money, tetapi juga memperhatikan nilai-nilai spiritual, keadilan dan kemaslahatan. Dengan demikian, maka pola investasinya akan menjadi lebih rumit, terutama bagi sebagian orang yang tidak memiliki semangat spirituil sejati. Namun begitulah adanya, sebagaimana firman Tuhan yang menyebutkan bahwa perjalanan menuju syurga itu menanjak, berbatu dan berliku. Sangat berbeda dengan perjalan menuju neraka yang landai, lurus dan mulus.
Skim Investasi Syariah
Meskipun belum banyak digeluti oleh sebagian orang, ternyata investasi syariah memiliki keragaman yang lebih luas ketimbang skim inestasi non syariah. Ada beberapa skim investasi syariah yang dapat dijadikan acuan, antara lain :
a. Pembiayaan Modal Kerja (Working Capital Financing Fund)
Skim ini bertujuan untuk memperoleh pengembalian yang optimum dengan jadual pembayaran yang sudah ditentukan. Dalam skim ini, transaksi dipecah menjadi 2 akad, yang terpisah yaitu: Murabahah dan Mudharabah secara proporsional. Dengan begitu, diharapkan akan diperoleh pendapatan yang tetap dari transaksi murabahah. Sementara itu, investor akan memperoleh penghasilan yang berfluktuasi dari transaksi mudharabah. Namun demikian, skim ini ditentang oleh Zainul Arifin dengan alasan bahwa tujuan investor adalah investasi, dan bukannya bertransaksi jual beli (murabahah).
b. Skim Proteksi Modal (Capital Protection Investment Scheme)
Tujuan utama skim ini adalah mencapai keuntungan yang optimum dengan mekanisme perlindungan (dalam mata uang asing) sesuai dengan Syariah Islam. Dalam skim ini, transaksi murabahah dilakukan dengan pemilik perusahaan dan disaat yang sama melakukan transaksi mudharabah dengan anak perusahaan (portofolio). Dengan struktur investasi tersebut, transaksi mudharabah terproteksi oleh transaksi Murabahah dengan sistem pendapatan yang fix.
c. Murabahah Property Fund
Objektif skim ini adalah memberikan penghasilan yang stabil dengan menetapkan pembayaran tetap tahunan dalam mata uang US Dollar (asing). Transaksi dalam skim ini didasarkan atas Murabahah dengan ekspektasi waktu pengembalian 5 tahun. Dana akan diinvestasikan dalam pembelian penghasilan/pembayaran yang didapat dari properti dan selanjutnya properti tersebut segera dijual kembali secara Murabahah kepada perusahaan dalam jangka waktu 5 tahun.
d. Al-Manzil Fund Scheme
Tujuan investasi dengan skim ini adalah memperoleh hasil jangka panjang dari investasi “Asset backed securities” dengan perlindungan mata uang rupiah (domestic currency) mengikuti prinsip Syariah Islam. Skim ini digunakan untuk pembiayaan pengadaan rumah, dan diproyeksikan untuk menggantikan produk KPR. Skim investasi ini sepenuhnya dilakukan atas dasar Mudharabah antara Investor dan manager Investasi, dengan dukungan Mortgage Agreement dan Buy Back Guarantee. Pada skim ini digunakan beberapa akad antara lain : mudharabah antara bank dengan investor, istishna’ antara bank dengan pengembang, serta sewa beli dan murabahah antara bank dengan konsumen. Skim ini akan menjadi skim yang mampu berdiri sendiri (bebas pengaruh fluktuasi suku bunga), manakala investor-investor tersebut juga merupakan kumpulan konsumen akhir.
Islamic Money Market.
Pada sistem yang lebih makro, investasi syariah dapat berpartisipasi dalam sistem pasar uang yang saat ini telah banyak dikenal. Namun demikian, banyak modifikasi yang perlu dilakukan jika ingin ikut berpartisipasi dalam pasar uang. Dalam sistem ekonomi Islam, beberapa ulama dan praktisi lebih banyak menyebutnya sebagai Pasar Keuangan bukannya Pasar Uang, atau lebih dikenal dengan istilah Islamic Money Market. Tujuan pengadaan Islamic Money Market adalah untuk menyediakan fasilitas likuiditas dengan tingkat pengembalian yang kompetitif serta sesuai dengan prinsip Syariah Islam.
Struktur Investasinya dilakukan secara simultan. Pertama, dana kelolaan akan didaftarkan pada BAPEPAM (Badan Pengawas Pasar Modal). Dana dimaksud kemudian akan dipisahkan antara portofolio Rupiah dan US Dollar (foreign Currency). Portofolio dalam bentuk rupiah akan diinvestasikan dalam skim Ijarah atau Murabahah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. Portofolio dimaksud maksimal terdiri dari 10 saham yang sangat likuid yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta. Sementara itu, portofolio US Dollar (Foreign Currency) akan diinvestasikan pada produk-produk investasi dalam bentuk US Dollar yang diterbitkan oleh Bank Islam Internasional yang kredibel.
Aktivitas investasi harus sesuai dengan kebutuhan akan Dewan Syariah Islam yang kredibel. Maksimal Investasi pada Ijarah/Murabahah adalah 80% dari total nilai asset, dan investasi pada saham-saham lain terbatas pada 10 besar saham yang paling likuid dengan tingkat volatilitas yang rendah.
Implementasi Sistem Investasi Pada Perbankan Syariah
Saat ini harus diakui bahwa perkembangan perbankan syariah masih lamban. Hal ini terlihat dari komposisi asset perbankan syariah yang tidak mencapai 1% daripada total asset perbankan nasional. Hal ini dapat dimaklumi karena sistem perbankan syariah memerlukan proses edukasi yang panjang bagi masyarakat dan bahkan para pelaku perbankan syariah sendiri. Salah satu pola fikir masyarakat yang harus diubah adalah mengubah pola hidup menabung menjadi pola hidup berinvestasi. Saat ini masyarakat lebih senang menabung daripada berinvestasi karena tanpa harus bekerja akan selalu memperoleh bunga yang besar dan tetap setiap bulannya. Selain itu, pokok tabungannya pun dijamin oleh pemerintah. Pola hidup seperti ini kemudian menghasilkan manusia-manusia pemalas yang ingin mendapat uang banyak tanpa ingin bekerja. Dampaknya bagi perekonomian nasional sudah dapat diduga, yakni stagnasi sektor riil akibat tidak sinkron dengan sektor perbankan.
Bagi praktisi perbankan sendiri, harus segera dilakukan perubahan dan pelurusan konsep tabungan dan investasi. Tabungan itu bukanlah mudharabah melainkan wadiah. Perbankan syariah harus segera melakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat tentang karakteristik investasi, terutama adanya peluang untung – rugi. Sedangkan skim investasi seperti mudharabah dan musyarakah harus segera diubah dari konsep revenue sharing menjadi profit sharing.
Mudharabah Muqayyadah
Dalam implementasinya di sistem perbankan syariah, terdapat kesalahan persepsi di kalangan masyarakat ekonomi syariah yakni selalu menggandengkan antara akad-akad fiqh dengan transaksi perbankan modern. Sebagai contoh jika bicara tentang ijarah maka pasti leasing, jika bicara tentang mudharabah muqayyadah maka pasti disimpulkan bahwa itu adalah direct investment. Padahal keduanya sama sekali tidak ada hubungannya. Dalam satu transaksi perbankan, dapat dilakukan dengan beberapa macam akad fiqh. Sebagai contoh, mudharabah muqayyadah tidak mesti digunakan untuk direct investment saja, tetapi juga dapat digunakan untuk transaksi bank lainnya. Konsep transaksi suatu produk perbankan dapat dibentuk dalam beberapa alternatif akad fiqh. Namun demikian, kemudian dipilih alternatif terbaik dengan kriteria : kehalalan transaksi, kemudahan implementasi dan
profitability transaksi.
Transaksi mudharabah muqayyadah tidak mesti berdiri sendiri, namun juga dapat dikombinasikan dengan skim lanjutan yang bentuknya bisa beraneka ragam, seperti murabahah, salam, ijarah dan lain-lain. Transaksi mudharabah muqayyadah terdiri dari 2 (dua) skema besar yakni off balance sheet dan transaksi on balance sheet. Transaksi mudharabah muqayyadah off balance sheet inilah yang bisa disebut sebagai direct investment. Pada transaksi ini, penandatanganan akad terjadi antara investor (shahibul maal) dengan pengusaha (mudharib). Bank sama sekali tidak terlibat dalam akad dimaksud. Dalam transaksi ini, bank hanya bertindak sebagai arranger saja sehingga tidak berhak memperoleh bagi hasil hanya arranger fee saja. Keterikatan bank dengan para pihak yang terlibat (investor dan pengusaha) dapat dilakukan dengan 2 (dua) akad yakni : akad simsar/samsarah dan akad jo’alah. Akad simsar terjadi jika bank bertindak menyediakan jasa untuk mempertemukan antara investor dan mudharib. Pada sistem ini bank biasanya membuat Info Memo tentang bisnis tertentu untuk kemudian ditawarkan kepada para investor. Bank menjamin kebenaran data didalam Info Memo tersebut, tetapi tidak bertanggung jawab atas risiko bisnis dimaksud. Sedangkan pada akad jo’alah, bank bertindak sebagai agen dari investor untuk mencari bisnis dengan karakteristik yang ditentukan investor (menyangkut profil usaha, tingkat risiko, tingkat return, dan lain-lain). Atas jasa bank tersebut, investor akan memberikan arranger fee.
Selain off balance sheet, mudharabah muqayyadah dapat juga dilakukan secara on balance sheet. Prinsipnya adalah apabila investor memberikan suatu syarat tertentu pada investasi yang dilakukannya, maka itulah yang dimaksud dengan mudharabah muqayyadah. Sehubungan dengan itu, bank dapat menciptakan produk investasi sebagaimana deposito dengan persyaratan tertentu misalnya investasi untuk sektor tertentu seperti pertanian, manufaktur dan jasa atau berdasarkan akad yang digunakan seperti dalam rangka penjualan cicilan, penyewaan cicilan dan kerja sama usaha. Yang terpenting dalam transaksi on balance sheet adalah kesesuaian cash flow yang diterima bank dari investor dengan penerimaan bank dari mudharib, sehingga bank tidak perlu melakukan pembayaran setiap bulan manakala pengembalian yang dilakukan mudharib setelah 3 bulan.
Metode bagi hasil dapat dilakukan dengan metode : cluster pool of fund, project sharing dan arranger fee. Cluster pool of fund adalah sistem dimana bank memberikan pilihan alternatif investasi berdasarkan jenis transaksi seperti jual-beli, sewa menyewa dan lain-lain. Project Sharing adalah sistem dimana alternatifnya berdasarkan jenis proyek usaha seperti pertanian, pertambangan, transportasi dan lain-lain. Sedangkan arranger fee adalah sistem dimana bank hanya bertindak sebagai perantara saja.
Penutup
Pola hidup dengan semangat investasi merupakan hal yang sangat krusial untuk dikembangkan ditengah sistem perekonomian yang sedang berkembang seperti saat ini. Di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat yang tingkat pendidikan masyarakatnya sudah beberapa langkah lebih maju, lembaga keuangan yang memiliki perkembangan lebih cepat justru pasar modal. Hal ini mengindikasikan bahwa skim investasi lebih diminati oleh masyarakat. Dengan pola investasi, masyarakat dapat memantau secara langsung kinerja usaha yang diminati. Hal yang sangat bertolak belakang dengan sistem perbankan dengan bunga tetap. Di negara lain seperti Jepang, bahkan pemerintah sangat mendukung semangat investasi dengan menurunkan tigkat suku bunga hingga mendekati angka 0% atau lebih dikenal dengan nil interest. Untuk negara maju berkembang seperti Indonesia, semangat investasi sangat dibutuhkan. Jika demikian, sekaranglah saatnya untuk mengubah pola hidup dari menabung ke investasi. Namun perubahan besar seperti ini bukanlah hal mudah, dibutuhkan kekuatan besar untuk mengubahnya. Siapakah The Power Of Change itu ? Saya yakin semua pihak setuju jika Bank Syariah adalah the power of change.
Wallahu’alam bishawab
Sunarto Zulkifli
Pola Pemberdayaan UKM Versi Bank Syariah
Krisis ekonomi yang berkepanjangan masih terasa gaungnya hingga kini. Dan banyak kalangan berpendapat bahwa krisis ini lebih banyak disebabkan oleh permasalahan yang ditimbulkan oleh usaha-usaha skala besar. Padahal selama ini, kalangan perbankan lebih banyak berpihak kepada usaha-usaha skala besar, terutama dalam hal peningkatan portofolio usaha. Namun demikian, krisis ekonomi tersebut tidak berdampak langsung terhadap kelompok usaha kecil dan menengah (UKM). Sektor ini ternyata lebih resisten tehadap krisis, karena hampir sebagian besar menggunakan bahan baku dalam negeri sehingga tidak terkena dampak merosotnya nilai tukar rupiah. Namun demikian, apabila dibiarkan maka sektor UKM pun akan terkena dampak tidak langsung krisis ekonomi karena pangsa pasar sektor UKM biasanya adalah pengusaha besar.
Untuk itu maka semua pihak sepakat untuk bersama-sama melakukan proses pemberdayaan sektor UKM. Selain itu, sektor UKM akan membawa 2 implikasi signifikan yaitu mengatasi pengangguran dan kemiskinan. Mengingat bahwa sebagian besar penduduk Indonesia "berkutat" di sector UKM dan non-formal, maka pemberdayaan sector UKM akan berdampak langsung bagi tersedianya lapangan kerja yang pada akhirnya berimplikasi kepada pemberantasan kemiskinan. Selain itu, pemberdayaan UKM akan berimplikasi kepada pembukaan usaha kecil baru karena biasanya sector UKM mengkonsumsi bahan baku local.
Urgensi Pengembangan UKM
Memiliki kontribusi GDP dan pertumbuhan ekonomi. Apabila sektor UKM ini dikembangkan, maka ekonomi Indonesia akan memiliki industri dasar (base industry) yang cenderung mampu bertahan menghadapi krisis ekonomi. Saat ini, kontribusi UKM pada GDP hanya sebesar 32,84%.
Merupakan sektor yang cukup banyak menyerap tenaga kerja. Dengan begitu, pengembangan UKM akan mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia. Implikasinya adalah kondisi ekonomi masyarakat yang membaik dan GDP yang meningkat.
Kurangnya kelas menengah. Kondisi ekonomi Indonesia yang menyebabkan tidak berkembangnya usaha kecil menjadi usaha menengah. Iklim ekonomi yang abnormal selama ini menyebabkan usaha kecil cenderung statis dan tidak mengalami peningkatan yang berarti. Demikian juga halnya dengan usaha menengah, sangat sedikit usaha menengah yang mampu menjadi besar, bahkan banyak yang mengalami penurunan. Hal ini sangat berbeda dengan perkembangan usaha kecil di beberapa negara ASEAN lainnya. Untuk itu diperlukan suatu kebijakan baru guna menciptakan iklim yang sehat bagi pertumbuhan UKM.
Inovasi dan kompetisi. Iklim globalisasi mengharuskan semua jenis usaha, termasuk UKM, untuk meningkatkan daya inovasi dan kompetisinya.
Demokrasi. Setiap elemen masyarakat memiliki hak untuk berusaha untuk memperoleh penghidupan yang layak. Namun demikian, agar menjadi lebih terarah maka UKM perlu dibina dan dikembangkan.
Kebijakan Pemberdayaan UKM
Oleh karena itu, untuk mengatasi krisis ekonomi, strategi ekonomi perlu diarahkan kembali kepada sektor usaha kecil dan menengah. Menanggulangi akibat krisis bersamaan dengan membenahi infrastruktur bagi pengembangan usaha kecil dan menengah tidak dapat dilakukan hanya oleh pelaku pasar secara parsial melainkan harus dengan pendekatan menyeluruh dari semua unsur. Berkaitan dengan hal ini, pemerintah secara aktif melakukan proses pemberdayaan UKM yang didasarkan kepada beberapa hal yakni sila kelima Pancasila, Undang Undang Dasar 1945, pasal 33, Garis-garis Besar Haluan Negara 1999 dan Undang Undang No.9 tahun 1995.
Perbankan memegang peranan penting, karena kesulitan utama pengembangan usaha kecil dan menengah pada umumnya kekurangmampuan mereka dibidang permodalan, jaminan dan manajemen dalam menjalankan usaha secara efektif dan efisien.
Arah Kebijakan
Kebijakan pemberdayaan UKM diarahkan kepada usaha memperkokoh struktur dunia usaha yang berintikan UKM sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi kemiskinan dan peningkatan lapangan usaha.
Konsekuensi
Kebijakan pemberdayaan UKM tersebut di atas berimplikasi beberapa konkuensi antara lain :
UKM dituntut memiliki usaha yang sehat, efisien, tangguh dan mandiri,
Globalisasi ekonomi menuntut UKM meningkatkan daya saing, melakukan diversifikasi produk untuk pasar dalam dan luar negeri,
Perubahan Departemen Koperasi & PKM menjadi Kantor Menegkop dan Penerapan Otonomi Daerah, dalam rangka meningkatkan peran masyarakat/dunia usaha/swasta untuk membina UKM
SEKILAS UKM
Kriteria UKM
Ada beberapa kriteria UKM, antara lain :
Kekayaan bersih diluar tanah dan bangunan tempat usaha paling banyak Rp.200 juta (usaha kecil) dan Rp. 1 milyar.
Omset per tahun maksimum Rp. 1 milyar (usaha kecil) dan Rp. 5 milyar (usaha menengah).
Milik Warga Negara Indonesia
Berdiri sendiri, bukan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha besar
Berbentuk usaha perorangan, badan usaha yang berbadan hukum ataupun tidak, termasuk koperasi
Kemitraan
Pengembangan UKM diarahkan kepada pola kemitraan antara lain :
UKM melakukan hubungan kemitraan dengan usaha besar baik yang memiliki keterkaitan usaha ataupun tidak.
Pola kemitraan meliputi : inti plasma, subkontrak, dagang umum, waralaba, keagenan dan bentuk kemitraan lainnya.
Program Pemberdayaan UKM
Program pemberdayaan UKM antara lain :
Pemasaran dan jaringan usaha, dengan tujuan agar UKM mampu menguasai, mengelola dan mengembangkan pasar
Pembiayaan usaha, dengan tujuan memperkuat struktur permodalan UKM dan meningkatkan akses ke sumber-sumber pembiayaan
Meningkatkan kualitas SDM atau profesionalisme UKM
Jasa pengembangan usaha, dengan tujuan membantu UKM dalam mengatasi ketidaksempurnaan pasar, keterbatasan akses informasi dan teknologi
Meningkatkan penguasaan teknologi, dengan tujuan meningkatkan efisiensi, produktifitas dan daya saing UKM
Meningkatkan penguasaan informasi, agar UKM mampu melihat, menilai dan memahami perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam lingkungannya dan cepat tanggap mengantisipasi setiap perubahan
KEWIRAUSAHAAN
Pengembangan Kewirausahaan UKM
Untuk mengembangkan UKM, maka perlu dilakukan pembinaan yang integral agar terbentuk jiwa dan etos kerja kewirausahaan. Secara sederhana, kewirausahaan dapat diartikan sebagai seseorang atau mereka yang mendirikan serta mengelola kegiatan usaha yang dimilikinya sendiri dan menciptakan lapangan kerja untuk orang lain.
Untuk membentuk etos kewirausahaan, diperlukan perpaduan antara pelaku (wirausaha) dengan lingkungan usahanya. Konsep ini lebih dikenal dengan "Competency based economics throuh formation of entrepreneurs". Terdapat 3 faktor utama yang mempengaruhi si pelaku wirausaha, yaitu :
Kemampuan (knowledge, pengalaman, keterampilan, dan karakter)
Sumber daya (modal dan jaringan)
Motivasi
Sedangkan lingkungan usaha dipengaruhi beberapa faktor, antara lain :
Lingkungan makro (iklim usaha/peraturan pemerintah yang mendukung)
Lingkungan Meso/bisnis (adanya peluang pasar)
Lingkungan mikro (lokasi usaha)
Apabila terjadi keterpaduan antara faktor-faktor yang mempengaruhi antara si pelaku dan lingkungan usaha, maka akan dihasilkan wirausaha yang mampu tumbuh secara sehat. Ada 4 hal penting yang harus dilakukan oleh para wirausaha, antara lain :
Mengasah kemampuan
Menentukan jenis usaha yang sesuai dengan kemampuan
Menyusun business plan, yang minimal meliputi 4 aspek utama : pemasaran, operasional, organisasi dan finansial
Menyusun langkah implementasi yang sistematis
Karakter Wirausaha UKM
Ada beberapa karakteristik dasar yang harus menjiwai setiap langkah pelaku wirausaha, antara lain :
Ulet
Percaya diri
Aktif mencari peluang
Memiliki komitmen
Berani mengambil resiko
Mengutamakan kualitas dan efisiensi
Gesit mencari informasi
Mampu menetapkan tujuan
Mampu membuat perencanaan dan pengendalian yang sistematis
Mampu meyakinkan orang lain dan membentuk jaringan usaha
Pemberdayaan sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) merupakan issue nasional yang hingga saat ini belum terpecahkan secara optimal. Kalangan akademisi, praktisi maupun birokrasi telah sepakat bahwa pemberdayaan sektor UKM merupakan titik krusial yang harus dilakukan untuk meningkatkan kinerja perekonomian nasional dan immunitas perekonomian nasional terhadap gejolak krisis. Jumlah tenaga kerja di sektor UKM dan koperasi saat ini telah mencapai 70 juta orang. Apabila sektor ini dapat diberdayakan secara optimal, maka minimal dapat mengangkat kesejahteraan 70 juta orang yang diikuti oleh meningkatnya daya beli masyarakat. Pada akhirnya hal ini akan berimplikasi kepada peningkatan laju pertumbuhan ekonomi nasional.
Ironisnya, sumbangan kepada pendapatan per kapita dari sektor UKM dan koperasi hanya 56%, sisanya 44% dipenuhi perusahaan besar. Padahal saat ini jumlah perusahaan yang tergolong besar hanya sebesar 1% dan sektor UKM dan koperasi sebesar 99%. Terkait dengan hal tersebut, Wapres Hamzah Haz mengemukakan bahwa laju pertumbuhan ekonomi perlu ditingkatkan dengan cara menggalakkan sektor koperasi dan UKM (www.bisnis.com, 8/4/03).
Upaya pemerintah untuk memberdayakan sektor UKM terlihat dari beberapa kebijakannya. Bank Indonesia telah memberikan komitmennya untuk mengucurkan dana sebesar Rp 42,3 trilyun untuk sektor koperasi dan UKM yang berasal dari perbankan nasional atau sekitar 50,6 % dari total ekspansi kredit perbankan (www.pikiran-rakyat.com, 11/2/03). Untuk optimalisasi pengelolaannya, pemerintah juga telah membentuk satuan tugas (satgas) untuk menjembatani kesenjangan informasi dan kepentingan antara perbankan dan UKM. Satgas tersebut bertugas antara lain melakukan standarisasi dan seleksi terhadap konsultan keuangan mikro, kecil dan menengah yang akan bermitra dengan bank, menyelenggarakan pelatihan kepada konsultan keuangan UKM dan memantau realisasi kredit kepada UKM (www.bisnis.com, 24/2/03). Selain itu, Kementerian Koperasi dan UKM juga mengambil peran dengan mengembangkan homepage (http://www.depkop.go.id), yang diharapkan dapat menjadi sarana penunjang bagi produsen maupun konsumen dalam melakukan transaksi bisnis dan meningkatkan jaringan usaha. Selanjutnya situs ini diharapkan dapat menjadi pendorong proses pemberdayaan koperasi dan UKM di Indonesia, karena situs ini menyajikan informasi aktual berkenaan dengan upaya pemberdayaan, pengembangan dan dinamika koperasi dan UKM di Indonesia.
Hal-hal tersebut di atas menunjukkan bahwa political will pemerintah untuk memberdayakan sektor UKM sudah ada dan sudah berlangsung lama. Sebut saja program pemerintah untuk usaha kecil seperti KCK (Kredit Candak Kulak), KUT (Kredit Usaha Tani), KIK (Kredit Investasi Kecil), KKPA (Kredit Koperasi Primer untuk Anggota), KUK (Kredit Usaha Kecil), dan lain-lain. Namun pertanyaannya adalah kenapa hingga saat ini sektor UKM masih termarjinalisasi ?
Sistem Pengelolaan UKM Konvensional
Masih termarjinalkannya sektor UKM ini sangat dimungkinkan karena sistem pengelolaannya yang tidak benar. Jika dipandang dari sudut syariah, maka pengelolaan dana untuk UKM tidak dapat dibenarkan secara syariah karena menggunakan sistem bunga (baca : riba). Pada sistem ini, pemerintah menyisihkan sebagian keuntungan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) untuk digunakan sebagai sumber dana PUKK (Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi). Dana tersebut kemudian disalurkan ke sektor UKM dan koperasi dengan sistem bunga yang besarannya lebih rendah daripada tingkat suku bunga bank di pasar. Contoh sederhana adalah kasus dana pinjaman sebesar Rp 7,2 miliar untuk koperasi dan UKM yang akan digulirkan oleh Dinas Koperasi dan UKM Jabar. Untuk pinjaman ini, sektor UKM dikenakan bunga pinjaman sebesar 16% per tahun (Republika, 15 April /03).
Selain tidak sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan, penerapan sistem bunga dalam proses pembinaan sektor UKM terbukti tidak berhasil mengangkat "martabat" sektor UKM. Bahkan beberapa kasus justru menunjukkan berbagai masalah antara lain kredit macet, penyimpangan penggunaan dari semula untuk pemberdayaan ekonomi justru terfokus ke pembiayaan konsumtif dan bahkan beredar di pasar uang antar bank. Jauh panggang dari api. Hal ini disebabkan oleh karena lembaga keuangan yang terlibat berusaha mengambil keuntungan bunga (spread margin) dari penyalurannya. Untuk menghindari risiko kredit sektor UKM yang pada umumnya tidak bankable, bank penyalur lebih memilih jalan aman dengan menyalurkannya ke sektor konsumtif dengan proporsi yang tidak berimbang dari sektor produktif. Pada akhirnya, motif mencari keuntungan bunga (spread margin) menjadikan bank lupa akan tujuan awalnya yakni memberdayakan sektor UKM.
Akibat nyata dari kegagalan ini terbukti dari kenyataan bahwa hingga saat ini sektor UKM masih belum memiliki kontribusi optimal dalam perekonomian nasional. Untuk itu, perlu dicari solusi alternatif pengelolaan UKM yang terbebas dari sistem bunga. Alternatif solusi yang saat ini nyata didepan mata adalah penerapan sistem syariah dalam pengelolaan dana untuk UKM.
Perbankan Syariah, Sistem Pengelolaan UKM Alternatif
Meskipun bagi sebagian kalangan agak sulit menerima penjelasan tentang dampak positif sistem syariah dibandingkan sistem bunga, namun tampaknya pemerintah harus memberikan kesempatan bagi sistem perbankan syariah untuk mengambil peran dalam pengelolaan dana tersebut mengingat kegagalan sistem bunga beberapa dekade lalu. Pola yang digunakan oleh bank syariah dapat dilakukan dengan menggunakan sistem bagi hasil. Penerapan sistem bagi hasil dalam proses pemberdayaan sektor UKM harus disadari sebagai bagian dari upaya meningkatkan kinerja sektor UKM dan perputaran usaha didalam negeri, dan bukan semata-mata "mengeruk" keuntungan bunga. Bukankah tujuan awal pengelolaan dana PUKK adalah untuk mengembangkan dan memberdayakan sektor UKM dan koperasi ?
Selama ini pemerintah tampaknya mencoba mencari keuntungan atau pendapatan bunga dari pengelolaan dana PUKK, sehingga melupakan filosofi dasar pengelolaan dana PUKK yakni untuk memberdayakan sektor UKM. Inilah tampaknya yang menjadi akar permasalahan sulitnya mengembangkan sektor UKM. Sebenarnya jika saja pemerintah tidak berorientasi pada pendapatan atau keuntungan bunga dana PUKK, maka keberhasilan pemberdayaan sektor UKM dapat mengangkat kesejahteraan dan implikasinya adalah meningkatkan jumlah obyek pajak. Dari sinilah sebenarnya dan seharusnya pemerintah memperoleh pendapatan negara. Dari tinjauan syariah Islam, perolehan pendapatan dari sektor pajak terasa "lebih bersih" ketimbang pendapatan dari bunga. Dan bahkan pemerintah akan memperoleh sumber dana lain yakni zakat penghasilan dari sektor UKM yang berhasil dikembangkan. Jika saja hal ini terjadi, maka bukan saja terlihat lebih "bersih", namun upaya ini akan memperoleh keberkahan dari Tuhan. Allah SWT mensinyalir hal ini dalam Al-Qur'an surat Ar-Ruum ayat 39 yang artinya : "Dan sesuatu riba (bunga) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridloan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)."
Skim Pendanaan UKM
Proses pemberdayaan UKM melalui perbankan syariah perlu memperhatikan beberapa hal antara lain skim pendanaan, skim penyaluran, dan skim restrukturisasi UKM bermasalah. Selain menggunakan sumber dana yang telah ada yakni sebagian keuntungan BUMN, sumber dana pengelolaan UKM juga dapat diperoleh dari Badan/Lembaga Amil Zakat berupa dana zakat, infaq, sedekah, wakaf dan lain-lain. Dengan demikian, akan diperoleh akumulasi dana yang lebih besar mengingat potensi kedermawanan masyarkat Indonesia masih cukup tinggi. Menurut Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC, 4/02), tingkat bersedekah (rate of giving) masyarakat Indonesia menunjukkan angka yang tinggi yang secara berurutan diberikan kepada perorangan (96%), lembaga keagamaan (84%), dan lembaga lain non-keagamaan (77%). Mengenai nilainya, menurut data BAZIS (Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah) DKI tahun 1996, potensi zakat di Indonesia mencapai Rp235,9 milyar per tahun. Potensi ini belum termasuk berbagai lembaga agama lain dan lembaga non-keagamaan yang sedang trend dan gencar membuka rekening amal. Sebut saja program seperti RCTI Peduli, Pundi Amal SCTV, Peduli Kasih Indosiar, TPI Peduli, Dompet Dhuafa Republika, Pro2 Peduli dan lain-lain yang mewakili lembaga non-keagamaan.
Untuk pengelolaan secara profesional, maka pemerintah harus memberikan kesempatan kepada perbankan syariah untuk mengelola dana tersebut di atas baik pengumpulan maupun penyalurannya. Hal ini sangat relevan jika pemerintah hendak mengubah sistem pengelolaan dana untuk UKM dengan sistem bagi hasil, karena perbankan syariah merupakan satu-satunya bank yang memiliki skim pembiayaan secara bagi hasil.
Skim Penyaluran Dana UKM
Penyaluran dana untuk UKM oleh perbankan syariah dapat dilakukan dengan skim musyarakah ataupun mudharabah. Kedua skim ini pada hakikatnya adalah penggabungan beberapa potensi dana dan profesionalisme dalam sebuah usaha dengan perjanjian saling berbagi hasil atas keuntungan yang akan diperoleh. Perbedaannya terletak pada komposisi dananya saja. Pada musyakarah, sektor UKM harus menyediakan dana tertentu sebagai porsi modal usaha, sedangkan pada skim mudharabah sektor UKM tidak perlu menyediakan modal. Kelebihan skim ini adalah tidak mutlak diperlukannya jaminan dan sistem angsuran yang disesuaikan dengan kinerja usaha. Hal ini tentunya dapat menjawab kesulitan UKM selama ini dalam berhubungan dengan bank, yakni jaminan. Disamping lebih adil dan tidak memberatkan, sistem angsuran yang disesuaikan dengan kinerja usaha dapat meningkatkan pendapatan pemerintah jika kinerja usaha sektor UKM meningkat.
Mencermati pola bagi hasil yang didasari kepercayaan antar pihak yang terlibat, maka dibutuhkan proses pendampingan yang optimal terhadap sektor UKM oleh bank ataupun pihak lain yang independen. Bentuk pendampingan yang diperlukan antara lain pembinaan aspek administrasi dan pengelolaan keuangan, pembinaan aspek manajerial, dan pembentukan akses UKM terhadap pasar. Hal inipun tampaknya sejalan dengan program pemerintah untuk membentuk satgas pendamping UKM. Keberhasilan proses pendampingan ini berdampak positif bagi UKM terutama dalam hal pengembangan profesionalisme sektor UKM.
Restrukturisasi UKM
Salah satu "pekerjaan rumah" pemerintah saat ini adalah bertumpuknya UKM bermasalah akibat krisis ekonomi yang melanda negeri ini. Untuk kasus ini, pemerintah harus segera mengambil upaya tegas memilah-milah kembali UKM bermasalah berdasarkan penyebabnya. Bagi UKM yang bermasalah akibat "salah urus" tidak perlu dilakukan pengampunan, tetapi harus segera dijual atau dialihkan (redistribusi) kepada pelaku usaha baru yang berpotensi dan tidak melakukan praktek moral hazard untuk menghindari idle resources atas asset-asset yang ada. Bagi UKM yang bermasalah akibat krisis ekonomi antara lain menurunnya daya beli masyarakat, naiknya harga bahan baku dan lain-lain, maka perlu dilakukan pengampunan dan restrukturisasi. Kebanyakan UKM jenis ini, hutangnya menjadi berlipat ganda akibat "argo" perhitungan bunga terus berjalan sepanjang belum dilunasinya pokok pinjaman. Ditinjau dari sudut pandang syariah Islam, proses pengampunan ini dapat dibenarkan antara lain dengan jalan menghapuskan hutang bunga. Dengan demikian, UKM hanya dibebani hutang pokok dan bukannya bunga atas pokok. Hal ini tentunya hanya relevan untuk UKM yang diserahkan pengelolaannya kepada bank syariah yang tidak mengenal sistem bunga. Hal ini secara tegas dikemukakan Allah SWT didalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 278-279 yang artinya : "Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa (dari berbagai jenis) riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya."
Penutup
Upaya pemberdayaan sektor UKM merupakan sebuah hal yang niscaya jika pemerintah hendak merintis upaya meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat, mengingat populasinya yang cukup padat di sektor ini. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa pemberdayaan UKM belum tercapai secara optimal bahkan terjadi banyak penyimpangan. Akibatnya sektor UKM bukannya terberdayakan malah semakin tidak berdaya ditengah perputaran roda ekonomi nasional yang dikuasai segelintir pengusaha besar. Penyimpangan mendasar yang terjadi adalah penyimpangan filosofi dasar tujuan pengelolaan dana PUKK dari pemberdayaan menjadi ajang mengeruk keuntungan bunga (spread margin). Tampaknya benarlah apa yang diungkapkan oleh Adi Sasono, Ketua Umum ICMI : "Tatkala ekonomi dipertimbangkan sebagai peristiwa yang seolah netral dan bebas nilai, maka sesungguhnya kita membenarkan prinsip hukum rimba, siapa kuat ia menang. Manusia dengan segala potensi kemuliaannya sebagai ciptaan Allah, tereduksi menjadi hewan ekonomi. Mereka yang lemah, makin tergusur dalam persaingan tidak seimbang, terpojok dalam keterbelakangan yang cenderung menetap, dalam kehidupan yang keras dan kejam. ...Pada gilirannya situasi ini akan makin memusatkan penguasaan sumber daya ekonomi di tangan sekelompok kecil orang." (The Future of Economics :An Islamic Perspective, 2001)
Sekaranglah saatnya pemerintah untuk memberikan kesempatan bagi perbankan syariah untuk mengambil peran dalam pengelolaan sektor UKM melalui sistem bagi hasil. Selain memenuhi nilai-nilai ketuhanan, sistem ini pada saatnya akan mampu memberikan kontribusi berupa perluasan sumber dana dan peningkatan jumlah obyek pajak. Kesemuanya ini kemudian akan bermuara kepada sistem kehidupan yang berkeadilan menuju kesejahteraan ummat. Pada akhirnya kita mesti yakin dengan kemenangan yang dijanjikan Allah : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan/kemenangan" (QS. Ali Imran : 130). Rizki dan keuntungan yang tidak disangka-sangka pun akan bermunculan sebagaimana firman Allah : "...dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, dijadikan baginya jalan keluar (solusi). Dan diberikan untuknya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka..." (QS. Ath-Thalaq : 2-3).
Wallahu'alam bishawwab. Hasbunallah wani'mal wakiil, ni'mal maula wani'mannatsiir.
Sunarto Zulkifli
Untuk itu maka semua pihak sepakat untuk bersama-sama melakukan proses pemberdayaan sektor UKM. Selain itu, sektor UKM akan membawa 2 implikasi signifikan yaitu mengatasi pengangguran dan kemiskinan. Mengingat bahwa sebagian besar penduduk Indonesia "berkutat" di sector UKM dan non-formal, maka pemberdayaan sector UKM akan berdampak langsung bagi tersedianya lapangan kerja yang pada akhirnya berimplikasi kepada pemberantasan kemiskinan. Selain itu, pemberdayaan UKM akan berimplikasi kepada pembukaan usaha kecil baru karena biasanya sector UKM mengkonsumsi bahan baku local.
Urgensi Pengembangan UKM
Memiliki kontribusi GDP dan pertumbuhan ekonomi. Apabila sektor UKM ini dikembangkan, maka ekonomi Indonesia akan memiliki industri dasar (base industry) yang cenderung mampu bertahan menghadapi krisis ekonomi. Saat ini, kontribusi UKM pada GDP hanya sebesar 32,84%.
Merupakan sektor yang cukup banyak menyerap tenaga kerja. Dengan begitu, pengembangan UKM akan mengurangi jumlah pengangguran di Indonesia. Implikasinya adalah kondisi ekonomi masyarakat yang membaik dan GDP yang meningkat.
Kurangnya kelas menengah. Kondisi ekonomi Indonesia yang menyebabkan tidak berkembangnya usaha kecil menjadi usaha menengah. Iklim ekonomi yang abnormal selama ini menyebabkan usaha kecil cenderung statis dan tidak mengalami peningkatan yang berarti. Demikian juga halnya dengan usaha menengah, sangat sedikit usaha menengah yang mampu menjadi besar, bahkan banyak yang mengalami penurunan. Hal ini sangat berbeda dengan perkembangan usaha kecil di beberapa negara ASEAN lainnya. Untuk itu diperlukan suatu kebijakan baru guna menciptakan iklim yang sehat bagi pertumbuhan UKM.
Inovasi dan kompetisi. Iklim globalisasi mengharuskan semua jenis usaha, termasuk UKM, untuk meningkatkan daya inovasi dan kompetisinya.
Demokrasi. Setiap elemen masyarakat memiliki hak untuk berusaha untuk memperoleh penghidupan yang layak. Namun demikian, agar menjadi lebih terarah maka UKM perlu dibina dan dikembangkan.
Kebijakan Pemberdayaan UKM
Oleh karena itu, untuk mengatasi krisis ekonomi, strategi ekonomi perlu diarahkan kembali kepada sektor usaha kecil dan menengah. Menanggulangi akibat krisis bersamaan dengan membenahi infrastruktur bagi pengembangan usaha kecil dan menengah tidak dapat dilakukan hanya oleh pelaku pasar secara parsial melainkan harus dengan pendekatan menyeluruh dari semua unsur. Berkaitan dengan hal ini, pemerintah secara aktif melakukan proses pemberdayaan UKM yang didasarkan kepada beberapa hal yakni sila kelima Pancasila, Undang Undang Dasar 1945, pasal 33, Garis-garis Besar Haluan Negara 1999 dan Undang Undang No.9 tahun 1995.
Perbankan memegang peranan penting, karena kesulitan utama pengembangan usaha kecil dan menengah pada umumnya kekurangmampuan mereka dibidang permodalan, jaminan dan manajemen dalam menjalankan usaha secara efektif dan efisien.
Arah Kebijakan
Kebijakan pemberdayaan UKM diarahkan kepada usaha memperkokoh struktur dunia usaha yang berintikan UKM sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi untuk mengurangi kemiskinan dan peningkatan lapangan usaha.
Konsekuensi
Kebijakan pemberdayaan UKM tersebut di atas berimplikasi beberapa konkuensi antara lain :
UKM dituntut memiliki usaha yang sehat, efisien, tangguh dan mandiri,
Globalisasi ekonomi menuntut UKM meningkatkan daya saing, melakukan diversifikasi produk untuk pasar dalam dan luar negeri,
Perubahan Departemen Koperasi & PKM menjadi Kantor Menegkop dan Penerapan Otonomi Daerah, dalam rangka meningkatkan peran masyarakat/dunia usaha/swasta untuk membina UKM
SEKILAS UKM
Kriteria UKM
Ada beberapa kriteria UKM, antara lain :
Kekayaan bersih diluar tanah dan bangunan tempat usaha paling banyak Rp.200 juta (usaha kecil) dan Rp. 1 milyar.
Omset per tahun maksimum Rp. 1 milyar (usaha kecil) dan Rp. 5 milyar (usaha menengah).
Milik Warga Negara Indonesia
Berdiri sendiri, bukan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau berafiliasi baik langsung maupun tidak langsung dengan usaha besar
Berbentuk usaha perorangan, badan usaha yang berbadan hukum ataupun tidak, termasuk koperasi
Kemitraan
Pengembangan UKM diarahkan kepada pola kemitraan antara lain :
UKM melakukan hubungan kemitraan dengan usaha besar baik yang memiliki keterkaitan usaha ataupun tidak.
Pola kemitraan meliputi : inti plasma, subkontrak, dagang umum, waralaba, keagenan dan bentuk kemitraan lainnya.
Program Pemberdayaan UKM
Program pemberdayaan UKM antara lain :
Pemasaran dan jaringan usaha, dengan tujuan agar UKM mampu menguasai, mengelola dan mengembangkan pasar
Pembiayaan usaha, dengan tujuan memperkuat struktur permodalan UKM dan meningkatkan akses ke sumber-sumber pembiayaan
Meningkatkan kualitas SDM atau profesionalisme UKM
Jasa pengembangan usaha, dengan tujuan membantu UKM dalam mengatasi ketidaksempurnaan pasar, keterbatasan akses informasi dan teknologi
Meningkatkan penguasaan teknologi, dengan tujuan meningkatkan efisiensi, produktifitas dan daya saing UKM
Meningkatkan penguasaan informasi, agar UKM mampu melihat, menilai dan memahami perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam lingkungannya dan cepat tanggap mengantisipasi setiap perubahan
KEWIRAUSAHAAN
Pengembangan Kewirausahaan UKM
Untuk mengembangkan UKM, maka perlu dilakukan pembinaan yang integral agar terbentuk jiwa dan etos kerja kewirausahaan. Secara sederhana, kewirausahaan dapat diartikan sebagai seseorang atau mereka yang mendirikan serta mengelola kegiatan usaha yang dimilikinya sendiri dan menciptakan lapangan kerja untuk orang lain.
Untuk membentuk etos kewirausahaan, diperlukan perpaduan antara pelaku (wirausaha) dengan lingkungan usahanya. Konsep ini lebih dikenal dengan "Competency based economics throuh formation of entrepreneurs". Terdapat 3 faktor utama yang mempengaruhi si pelaku wirausaha, yaitu :
Kemampuan (knowledge, pengalaman, keterampilan, dan karakter)
Sumber daya (modal dan jaringan)
Motivasi
Sedangkan lingkungan usaha dipengaruhi beberapa faktor, antara lain :
Lingkungan makro (iklim usaha/peraturan pemerintah yang mendukung)
Lingkungan Meso/bisnis (adanya peluang pasar)
Lingkungan mikro (lokasi usaha)
Apabila terjadi keterpaduan antara faktor-faktor yang mempengaruhi antara si pelaku dan lingkungan usaha, maka akan dihasilkan wirausaha yang mampu tumbuh secara sehat. Ada 4 hal penting yang harus dilakukan oleh para wirausaha, antara lain :
Mengasah kemampuan
Menentukan jenis usaha yang sesuai dengan kemampuan
Menyusun business plan, yang minimal meliputi 4 aspek utama : pemasaran, operasional, organisasi dan finansial
Menyusun langkah implementasi yang sistematis
Karakter Wirausaha UKM
Ada beberapa karakteristik dasar yang harus menjiwai setiap langkah pelaku wirausaha, antara lain :
Ulet
Percaya diri
Aktif mencari peluang
Memiliki komitmen
Berani mengambil resiko
Mengutamakan kualitas dan efisiensi
Gesit mencari informasi
Mampu menetapkan tujuan
Mampu membuat perencanaan dan pengendalian yang sistematis
Mampu meyakinkan orang lain dan membentuk jaringan usaha
Pemberdayaan sektor Usaha Kecil Menengah (UKM) merupakan issue nasional yang hingga saat ini belum terpecahkan secara optimal. Kalangan akademisi, praktisi maupun birokrasi telah sepakat bahwa pemberdayaan sektor UKM merupakan titik krusial yang harus dilakukan untuk meningkatkan kinerja perekonomian nasional dan immunitas perekonomian nasional terhadap gejolak krisis. Jumlah tenaga kerja di sektor UKM dan koperasi saat ini telah mencapai 70 juta orang. Apabila sektor ini dapat diberdayakan secara optimal, maka minimal dapat mengangkat kesejahteraan 70 juta orang yang diikuti oleh meningkatnya daya beli masyarakat. Pada akhirnya hal ini akan berimplikasi kepada peningkatan laju pertumbuhan ekonomi nasional.
Ironisnya, sumbangan kepada pendapatan per kapita dari sektor UKM dan koperasi hanya 56%, sisanya 44% dipenuhi perusahaan besar. Padahal saat ini jumlah perusahaan yang tergolong besar hanya sebesar 1% dan sektor UKM dan koperasi sebesar 99%. Terkait dengan hal tersebut, Wapres Hamzah Haz mengemukakan bahwa laju pertumbuhan ekonomi perlu ditingkatkan dengan cara menggalakkan sektor koperasi dan UKM (www.bisnis.com, 8/4/03).
Upaya pemerintah untuk memberdayakan sektor UKM terlihat dari beberapa kebijakannya. Bank Indonesia telah memberikan komitmennya untuk mengucurkan dana sebesar Rp 42,3 trilyun untuk sektor koperasi dan UKM yang berasal dari perbankan nasional atau sekitar 50,6 % dari total ekspansi kredit perbankan (www.pikiran-rakyat.com, 11/2/03). Untuk optimalisasi pengelolaannya, pemerintah juga telah membentuk satuan tugas (satgas) untuk menjembatani kesenjangan informasi dan kepentingan antara perbankan dan UKM. Satgas tersebut bertugas antara lain melakukan standarisasi dan seleksi terhadap konsultan keuangan mikro, kecil dan menengah yang akan bermitra dengan bank, menyelenggarakan pelatihan kepada konsultan keuangan UKM dan memantau realisasi kredit kepada UKM (www.bisnis.com, 24/2/03). Selain itu, Kementerian Koperasi dan UKM juga mengambil peran dengan mengembangkan homepage (http://www.depkop.go.id), yang diharapkan dapat menjadi sarana penunjang bagi produsen maupun konsumen dalam melakukan transaksi bisnis dan meningkatkan jaringan usaha. Selanjutnya situs ini diharapkan dapat menjadi pendorong proses pemberdayaan koperasi dan UKM di Indonesia, karena situs ini menyajikan informasi aktual berkenaan dengan upaya pemberdayaan, pengembangan dan dinamika koperasi dan UKM di Indonesia.
Hal-hal tersebut di atas menunjukkan bahwa political will pemerintah untuk memberdayakan sektor UKM sudah ada dan sudah berlangsung lama. Sebut saja program pemerintah untuk usaha kecil seperti KCK (Kredit Candak Kulak), KUT (Kredit Usaha Tani), KIK (Kredit Investasi Kecil), KKPA (Kredit Koperasi Primer untuk Anggota), KUK (Kredit Usaha Kecil), dan lain-lain. Namun pertanyaannya adalah kenapa hingga saat ini sektor UKM masih termarjinalisasi ?
Sistem Pengelolaan UKM Konvensional
Masih termarjinalkannya sektor UKM ini sangat dimungkinkan karena sistem pengelolaannya yang tidak benar. Jika dipandang dari sudut syariah, maka pengelolaan dana untuk UKM tidak dapat dibenarkan secara syariah karena menggunakan sistem bunga (baca : riba). Pada sistem ini, pemerintah menyisihkan sebagian keuntungan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) untuk digunakan sebagai sumber dana PUKK (Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi). Dana tersebut kemudian disalurkan ke sektor UKM dan koperasi dengan sistem bunga yang besarannya lebih rendah daripada tingkat suku bunga bank di pasar. Contoh sederhana adalah kasus dana pinjaman sebesar Rp 7,2 miliar untuk koperasi dan UKM yang akan digulirkan oleh Dinas Koperasi dan UKM Jabar. Untuk pinjaman ini, sektor UKM dikenakan bunga pinjaman sebesar 16% per tahun (Republika, 15 April /03).
Selain tidak sesuai dengan nilai-nilai ketuhanan, penerapan sistem bunga dalam proses pembinaan sektor UKM terbukti tidak berhasil mengangkat "martabat" sektor UKM. Bahkan beberapa kasus justru menunjukkan berbagai masalah antara lain kredit macet, penyimpangan penggunaan dari semula untuk pemberdayaan ekonomi justru terfokus ke pembiayaan konsumtif dan bahkan beredar di pasar uang antar bank. Jauh panggang dari api. Hal ini disebabkan oleh karena lembaga keuangan yang terlibat berusaha mengambil keuntungan bunga (spread margin) dari penyalurannya. Untuk menghindari risiko kredit sektor UKM yang pada umumnya tidak bankable, bank penyalur lebih memilih jalan aman dengan menyalurkannya ke sektor konsumtif dengan proporsi yang tidak berimbang dari sektor produktif. Pada akhirnya, motif mencari keuntungan bunga (spread margin) menjadikan bank lupa akan tujuan awalnya yakni memberdayakan sektor UKM.
Akibat nyata dari kegagalan ini terbukti dari kenyataan bahwa hingga saat ini sektor UKM masih belum memiliki kontribusi optimal dalam perekonomian nasional. Untuk itu, perlu dicari solusi alternatif pengelolaan UKM yang terbebas dari sistem bunga. Alternatif solusi yang saat ini nyata didepan mata adalah penerapan sistem syariah dalam pengelolaan dana untuk UKM.
Perbankan Syariah, Sistem Pengelolaan UKM Alternatif
Meskipun bagi sebagian kalangan agak sulit menerima penjelasan tentang dampak positif sistem syariah dibandingkan sistem bunga, namun tampaknya pemerintah harus memberikan kesempatan bagi sistem perbankan syariah untuk mengambil peran dalam pengelolaan dana tersebut mengingat kegagalan sistem bunga beberapa dekade lalu. Pola yang digunakan oleh bank syariah dapat dilakukan dengan menggunakan sistem bagi hasil. Penerapan sistem bagi hasil dalam proses pemberdayaan sektor UKM harus disadari sebagai bagian dari upaya meningkatkan kinerja sektor UKM dan perputaran usaha didalam negeri, dan bukan semata-mata "mengeruk" keuntungan bunga. Bukankah tujuan awal pengelolaan dana PUKK adalah untuk mengembangkan dan memberdayakan sektor UKM dan koperasi ?
Selama ini pemerintah tampaknya mencoba mencari keuntungan atau pendapatan bunga dari pengelolaan dana PUKK, sehingga melupakan filosofi dasar pengelolaan dana PUKK yakni untuk memberdayakan sektor UKM. Inilah tampaknya yang menjadi akar permasalahan sulitnya mengembangkan sektor UKM. Sebenarnya jika saja pemerintah tidak berorientasi pada pendapatan atau keuntungan bunga dana PUKK, maka keberhasilan pemberdayaan sektor UKM dapat mengangkat kesejahteraan dan implikasinya adalah meningkatkan jumlah obyek pajak. Dari sinilah sebenarnya dan seharusnya pemerintah memperoleh pendapatan negara. Dari tinjauan syariah Islam, perolehan pendapatan dari sektor pajak terasa "lebih bersih" ketimbang pendapatan dari bunga. Dan bahkan pemerintah akan memperoleh sumber dana lain yakni zakat penghasilan dari sektor UKM yang berhasil dikembangkan. Jika saja hal ini terjadi, maka bukan saja terlihat lebih "bersih", namun upaya ini akan memperoleh keberkahan dari Tuhan. Allah SWT mensinyalir hal ini dalam Al-Qur'an surat Ar-Ruum ayat 39 yang artinya : "Dan sesuatu riba (bunga) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia. Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridloan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya)."
Skim Pendanaan UKM
Proses pemberdayaan UKM melalui perbankan syariah perlu memperhatikan beberapa hal antara lain skim pendanaan, skim penyaluran, dan skim restrukturisasi UKM bermasalah. Selain menggunakan sumber dana yang telah ada yakni sebagian keuntungan BUMN, sumber dana pengelolaan UKM juga dapat diperoleh dari Badan/Lembaga Amil Zakat berupa dana zakat, infaq, sedekah, wakaf dan lain-lain. Dengan demikian, akan diperoleh akumulasi dana yang lebih besar mengingat potensi kedermawanan masyarkat Indonesia masih cukup tinggi. Menurut Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC, 4/02), tingkat bersedekah (rate of giving) masyarakat Indonesia menunjukkan angka yang tinggi yang secara berurutan diberikan kepada perorangan (96%), lembaga keagamaan (84%), dan lembaga lain non-keagamaan (77%). Mengenai nilainya, menurut data BAZIS (Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah) DKI tahun 1996, potensi zakat di Indonesia mencapai Rp235,9 milyar per tahun. Potensi ini belum termasuk berbagai lembaga agama lain dan lembaga non-keagamaan yang sedang trend dan gencar membuka rekening amal. Sebut saja program seperti RCTI Peduli, Pundi Amal SCTV, Peduli Kasih Indosiar, TPI Peduli, Dompet Dhuafa Republika, Pro2 Peduli dan lain-lain yang mewakili lembaga non-keagamaan.
Untuk pengelolaan secara profesional, maka pemerintah harus memberikan kesempatan kepada perbankan syariah untuk mengelola dana tersebut di atas baik pengumpulan maupun penyalurannya. Hal ini sangat relevan jika pemerintah hendak mengubah sistem pengelolaan dana untuk UKM dengan sistem bagi hasil, karena perbankan syariah merupakan satu-satunya bank yang memiliki skim pembiayaan secara bagi hasil.
Skim Penyaluran Dana UKM
Penyaluran dana untuk UKM oleh perbankan syariah dapat dilakukan dengan skim musyarakah ataupun mudharabah. Kedua skim ini pada hakikatnya adalah penggabungan beberapa potensi dana dan profesionalisme dalam sebuah usaha dengan perjanjian saling berbagi hasil atas keuntungan yang akan diperoleh. Perbedaannya terletak pada komposisi dananya saja. Pada musyakarah, sektor UKM harus menyediakan dana tertentu sebagai porsi modal usaha, sedangkan pada skim mudharabah sektor UKM tidak perlu menyediakan modal. Kelebihan skim ini adalah tidak mutlak diperlukannya jaminan dan sistem angsuran yang disesuaikan dengan kinerja usaha. Hal ini tentunya dapat menjawab kesulitan UKM selama ini dalam berhubungan dengan bank, yakni jaminan. Disamping lebih adil dan tidak memberatkan, sistem angsuran yang disesuaikan dengan kinerja usaha dapat meningkatkan pendapatan pemerintah jika kinerja usaha sektor UKM meningkat.
Mencermati pola bagi hasil yang didasari kepercayaan antar pihak yang terlibat, maka dibutuhkan proses pendampingan yang optimal terhadap sektor UKM oleh bank ataupun pihak lain yang independen. Bentuk pendampingan yang diperlukan antara lain pembinaan aspek administrasi dan pengelolaan keuangan, pembinaan aspek manajerial, dan pembentukan akses UKM terhadap pasar. Hal inipun tampaknya sejalan dengan program pemerintah untuk membentuk satgas pendamping UKM. Keberhasilan proses pendampingan ini berdampak positif bagi UKM terutama dalam hal pengembangan profesionalisme sektor UKM.
Restrukturisasi UKM
Salah satu "pekerjaan rumah" pemerintah saat ini adalah bertumpuknya UKM bermasalah akibat krisis ekonomi yang melanda negeri ini. Untuk kasus ini, pemerintah harus segera mengambil upaya tegas memilah-milah kembali UKM bermasalah berdasarkan penyebabnya. Bagi UKM yang bermasalah akibat "salah urus" tidak perlu dilakukan pengampunan, tetapi harus segera dijual atau dialihkan (redistribusi) kepada pelaku usaha baru yang berpotensi dan tidak melakukan praktek moral hazard untuk menghindari idle resources atas asset-asset yang ada. Bagi UKM yang bermasalah akibat krisis ekonomi antara lain menurunnya daya beli masyarakat, naiknya harga bahan baku dan lain-lain, maka perlu dilakukan pengampunan dan restrukturisasi. Kebanyakan UKM jenis ini, hutangnya menjadi berlipat ganda akibat "argo" perhitungan bunga terus berjalan sepanjang belum dilunasinya pokok pinjaman. Ditinjau dari sudut pandang syariah Islam, proses pengampunan ini dapat dibenarkan antara lain dengan jalan menghapuskan hutang bunga. Dengan demikian, UKM hanya dibebani hutang pokok dan bukannya bunga atas pokok. Hal ini tentunya hanya relevan untuk UKM yang diserahkan pengelolaannya kepada bank syariah yang tidak mengenal sistem bunga. Hal ini secara tegas dikemukakan Allah SWT didalam Al-Qur'an surat Al-Baqarah ayat 278-279 yang artinya : "Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa-sisa (dari berbagai jenis) riba jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya."
Penutup
Upaya pemberdayaan sektor UKM merupakan sebuah hal yang niscaya jika pemerintah hendak merintis upaya meningkatkan kesejahteraan hidup rakyat, mengingat populasinya yang cukup padat di sektor ini. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa pemberdayaan UKM belum tercapai secara optimal bahkan terjadi banyak penyimpangan. Akibatnya sektor UKM bukannya terberdayakan malah semakin tidak berdaya ditengah perputaran roda ekonomi nasional yang dikuasai segelintir pengusaha besar. Penyimpangan mendasar yang terjadi adalah penyimpangan filosofi dasar tujuan pengelolaan dana PUKK dari pemberdayaan menjadi ajang mengeruk keuntungan bunga (spread margin). Tampaknya benarlah apa yang diungkapkan oleh Adi Sasono, Ketua Umum ICMI : "Tatkala ekonomi dipertimbangkan sebagai peristiwa yang seolah netral dan bebas nilai, maka sesungguhnya kita membenarkan prinsip hukum rimba, siapa kuat ia menang. Manusia dengan segala potensi kemuliaannya sebagai ciptaan Allah, tereduksi menjadi hewan ekonomi. Mereka yang lemah, makin tergusur dalam persaingan tidak seimbang, terpojok dalam keterbelakangan yang cenderung menetap, dalam kehidupan yang keras dan kejam. ...Pada gilirannya situasi ini akan makin memusatkan penguasaan sumber daya ekonomi di tangan sekelompok kecil orang." (The Future of Economics :An Islamic Perspective, 2001)
Sekaranglah saatnya pemerintah untuk memberikan kesempatan bagi perbankan syariah untuk mengambil peran dalam pengelolaan sektor UKM melalui sistem bagi hasil. Selain memenuhi nilai-nilai ketuhanan, sistem ini pada saatnya akan mampu memberikan kontribusi berupa perluasan sumber dana dan peningkatan jumlah obyek pajak. Kesemuanya ini kemudian akan bermuara kepada sistem kehidupan yang berkeadilan menuju kesejahteraan ummat. Pada akhirnya kita mesti yakin dengan kemenangan yang dijanjikan Allah : "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan/kemenangan" (QS. Ali Imran : 130). Rizki dan keuntungan yang tidak disangka-sangka pun akan bermunculan sebagaimana firman Allah : "...dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, dijadikan baginya jalan keluar (solusi). Dan diberikan untuknya rizki dari arah yang tidak disangka-sangka..." (QS. Ath-Thalaq : 2-3).
Wallahu'alam bishawwab. Hasbunallah wani'mal wakiil, ni'mal maula wani'mannatsiir.
Sunarto Zulkifli
1 Tamparan Untuk 3 Pertanyaan
Artikel menarik ini saya peroleh dari seorang teman... cukup menggelitik..
Ada seorang pemuda yang lama sekolah di luar negeri, kembali ke tanah air. Sesampainya di rumah ia meminta kepada orang tuanya untuk mencari seorang guru agama, kiyai atau siapa saja yang bisa menjawab 3 pertanyaannya. Akhirnya orang tua pemuda itu mendapatkan orang tersebut, seorang kiyai.
Pemuda : Anda siapa Dan apakah bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan saya?
Kiyai : Saya hamba Allah dan dengan izin-Nya saya akan menjawab pertanyaan anda.
Pemuda : Anda yakin? Sedangkan Profesor dan ramai orang yang pintar tidak mampu menjawab pertanyaan saya.
Kiyai : Saya akan mencoba sejauh kemampuan saya.
Pemuda : Saya ada 3 pertanyaan:
1.Kalau memang Tuhan itu ada,tunjukan wujud Tuhan kepada saya!
2.Apakah yang dinamakan takdir?
3.Kalau syaitan diciptakan dari api kenapa dimasukan ke neraka yang dibuat dari api, tentu tidak menyakitkan buat syaitan. Sebab mereka memiliki unsur yang sama. Apakah Tuhan tidak pernah berfikir sejauh itu?
Tiba-tiba kyai tersebut menampar pipi pemuda tadi dengan keras.
Pemuda : (sambil menahan sakit) Kenapa anda marah kepada saya?
Kiyai : Saya tidak marah...Tamparan itu adalah jawaban saya atas 3 pertanyaan yang anda ajukan kepada saya.
Pemuda : Saya sungguh-sungguh tidak mengerti.
Kiyai : Bagaimana rasanya tamparan saya?
Pemuda : Tentu saja saya merasakan sakit.
Kiyai : Jadi anda percaya bahawa sakit itu ada?
Pemuda : Ya!
Kiyai : Tunjukan pada saya wujud sakit itu!
Pemuda : Saya tidak bisa.
Kiyai : Itulah jawaban pertanyaan pertama... kita semua merasakan kewujudan Tuhan tanpa mampu melihat wujudnya.
Kiyai : Apakah tadi malam anda bermimpi akan ditampar oleh saya?
Pemuda : Tidak.
Kiyai : Apakah pernah terfikir oleh anda akan menerima tamparan dari saya hari ini?
Pemuda : Tidak.
Kiyai : Itulah yang dinamakan takdir.
Kiyai : Terbuat dari apa tangan yang saya gunakan untuk menampar anda?
Pemuda : Kulit.
Kiyai : Terbuat dari apa pipi anda?
Pemuda : Kulit.
Kiyai : Bagaimana rasanya tamparan saya?
Pemuda : Sakit.
Kiyai : Walaupun syaitan dijadikan dari api dan neraka juga terbuat dari api, jika Tuhan menghendaki maka neraka akan menjadi tempat yang menyakitkan untuk syaitan.
Ada seorang pemuda yang lama sekolah di luar negeri, kembali ke tanah air. Sesampainya di rumah ia meminta kepada orang tuanya untuk mencari seorang guru agama, kiyai atau siapa saja yang bisa menjawab 3 pertanyaannya. Akhirnya orang tua pemuda itu mendapatkan orang tersebut, seorang kiyai.
Pemuda : Anda siapa Dan apakah bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan saya?
Kiyai : Saya hamba Allah dan dengan izin-Nya saya akan menjawab pertanyaan anda.
Pemuda : Anda yakin? Sedangkan Profesor dan ramai orang yang pintar tidak mampu menjawab pertanyaan saya.
Kiyai : Saya akan mencoba sejauh kemampuan saya.
Pemuda : Saya ada 3 pertanyaan:
1.Kalau memang Tuhan itu ada,tunjukan wujud Tuhan kepada saya!
2.Apakah yang dinamakan takdir?
3.Kalau syaitan diciptakan dari api kenapa dimasukan ke neraka yang dibuat dari api, tentu tidak menyakitkan buat syaitan. Sebab mereka memiliki unsur yang sama. Apakah Tuhan tidak pernah berfikir sejauh itu?
Tiba-tiba kyai tersebut menampar pipi pemuda tadi dengan keras.
Pemuda : (sambil menahan sakit) Kenapa anda marah kepada saya?
Kiyai : Saya tidak marah...Tamparan itu adalah jawaban saya atas 3 pertanyaan yang anda ajukan kepada saya.
Pemuda : Saya sungguh-sungguh tidak mengerti.
Kiyai : Bagaimana rasanya tamparan saya?
Pemuda : Tentu saja saya merasakan sakit.
Kiyai : Jadi anda percaya bahawa sakit itu ada?
Pemuda : Ya!
Kiyai : Tunjukan pada saya wujud sakit itu!
Pemuda : Saya tidak bisa.
Kiyai : Itulah jawaban pertanyaan pertama... kita semua merasakan kewujudan Tuhan tanpa mampu melihat wujudnya.
Kiyai : Apakah tadi malam anda bermimpi akan ditampar oleh saya?
Pemuda : Tidak.
Kiyai : Apakah pernah terfikir oleh anda akan menerima tamparan dari saya hari ini?
Pemuda : Tidak.
Kiyai : Itulah yang dinamakan takdir.
Kiyai : Terbuat dari apa tangan yang saya gunakan untuk menampar anda?
Pemuda : Kulit.
Kiyai : Terbuat dari apa pipi anda?
Pemuda : Kulit.
Kiyai : Bagaimana rasanya tamparan saya?
Pemuda : Sakit.
Kiyai : Walaupun syaitan dijadikan dari api dan neraka juga terbuat dari api, jika Tuhan menghendaki maka neraka akan menjadi tempat yang menyakitkan untuk syaitan.
Wednesday, April 9, 2008
Potensi Pengelolaan Wakaf Tunai
Tingkat Kedermawanan (Rate of Giving) Masyarakat
Penggalangan dana lokal masih merupakan persoalan yang pelik bagi bangsa ini. Tingkat ketergantungan negeri ini terhadap dana asing masih begitu tinggi. Berdasarkan Direktori CSRO (Civil Society Resource Organization) tahun 2000, mayoritas dana yang dikelola oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) berasal dari luar negeri yakni mencapai 65%. Ini adalah salah satu indikasi keengganan sebagian komponen bangsa ini untuk segera memutuskan hubungan dengan IMF (International Monetary Funds) yang bisa jadi merupakan pihak yang menjadi referensi penyaluran dana ke Indonesia. Terputusnya hubungan dengan IMF dapat saja menyebabkan beberapa sumber dana LSM tersendat-sendat atau bahkan terhenti.
Penyebab lain yang mungkin adalah munculnya sikap pesimistis untuk menggunakan semua potensi yang dimiliki oleh bangsa ini. Padahal berdasarkan survey yang dilakukan oleh PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center), ternyata rate of giving masyarakat Indonesia masih cukup tinggi. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan Agustus 2000 – Agustus 2001, rate of giving masyarakat Indonesia adalah 96% dilakukan untuk perorangan, 84% untuk lembaga keagamaan dan 77% untuk lembaga non keagamaan. Nilai nyata penerimaan yang berhasil dikumpulkan oleh beberapa LSM dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai Penerimaan Tahunan 18 LSM di Indonesia
No.
Organisasi
Pendapatan tahunan
1
Yayasan Manusia Indonesia
Rp400 juta
2
Dompet Dhuafa
Rp11 milyar
3
Yayasan Mitra Mandiri
USD150.000
4
Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup
Rp736 juta
5
Yayasan Dana Sosial Al-Falah
Rp1,6 miliar
6
Komite Kemanusiaan Indonesia
Rp9,8 milyar
7
Yayasan Daarut Tauhid
Rp5 milyar
8
DML
Rp420 juta
9
Yayasan Dharma Wulan
Rp200 juta
10
MER-C
Rp240 juta
11
Bina Swadaya
Rp39 juta
12
Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih
Rp2,5 juta
13
Yayasan Tengko Situru’
Rp1,4 juta
14
Yayasan Kristen Untuk Kesejahteraan Umum
Rp100 milyar
15
Koperasi Setya Bhakti Wanita
Rp35,3 milyar
16
Dompet Sosial Ummul Quro’ (DSUQ)
Rp3 milyar
17
Yayasan Maha Bhoga Marga
Rp800 juta
18
Yayasan Bakti Nusantara Isafat
Rp600 juta
Sumber data : Membangun Kemandirian Berkarya, PIRAC, 2002
Data pada Tabel 1, yang hanya diperoleh dari 18 lembaga, menunjukkan bahwa peluang penggalangan dana masyarakat sangat besar. Padahal saat ini jumlah LSM ataupun lembaga-lembaga lain yang melakukan penggalangan dana masyarakat secara massal masih cukup banyak, seperti RCTI Peduli, Pundi Amal SCTV, TPI peduli, Kharisma AN-TV, Radio Elshinta Peduli, Dana Kemanusiaan News FM, Pro 2 FM Peduli, Ramaco Peduli dan lain-lain. Dengan potensi sebesar itu, maka sebenarnya ada peluang bagi bangsa ini untuk membiayai sendiri pembangunan yang dilaksanakan pemerintah.
Bagaimana dengan Wakaf ?
Secara bahasa, wakaf berati menahan. Secara istilah, wakaf berarti menahan harta yang dapat diambil manfaatnya untuk kebaikan tanpa merusak substansi kebendaannya. M.A. Mannan (2001) menyatkan bahwa wakaf adalah suatu tindakan penahanan dari penggunaan dan penyerahan asset dimana seseorang dapat memanfaatkan atau menggunakan hasilnya untuk tujuan amal, sepanjang barang tersebut masih ada. Sementara itu, dalam kompilasi hukum Islam pasal 215 juncto pasal 1 (1) PP No.28 tahun 1977, wakaf adalah perwakilan hukum seseorang atau sekelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta miliknya dan kemudian melembagakannya untuk digunakan untuk kepentingan ibadah atau kepentingan umum lainnya sesuai syariat Islam.
Wakaf sebagai salah satu instrumen penerimaan sosial dalam Islam sudah lama dikenal. Namun demikian, penerapannya di Indonesia hanya dikenal dalam bentuk fixed asset seperti masjid, rumah/bangunan dan tanah, bukan berupa uang tunai (wakaf tunai). Sebagai sebuah instrumen yang dipahami orang Islam sebagai ladang pahala yang tidak terputus, wakaf menjadi sangat diminati oleh kalangan menengah ke atas, karena nilainya yang cukup besar (berupa fixed asset). Data harta wakaf yang tercatat di PP Muhammadiyyah antara lain 2.360 masjid, 8.315 unit sekolah (termasuk pesantren dan perguruan tinggi), 239 unit Panti Asuhan Anak Yatim dan 50 unit klinik dan rumah sakit, serta masih banyak lagi harta wakaf lainnya (H. Chufran Hamal, Studi Kasus Pengelolaan Wakaf Persyarikatan Muhammadiyyah, 2002).
Jika wakaf tunai dapat diimplementasikan, maka bukan tidak mungkin penerimaan dengan instrumen ini menjadi lebih tinggi daripada instrumen lainnya seperti zakat, infaq, shadaqah, ataupun lainnya. Kenapa ? Dengan wakaf tunai, maka instrumen wakaf tidak lagi menjadi monopoli kalangan “berduit”. Kalangan menengah ke bawah pun bisa ikut berpartisipasi. Jika saja terdapat 10 juta saja masyarakat muslim yang mewakafkan dananya sebanyak Rp100 ribu, maka akan diperoleh pengumpulan dana wakaf sebesar Rp1 trilyun setiap bulan (Rp12 trilyun per tahun). Dan jika diinvestasikan dengan tingkat investasi 10% per tahun maka akan diperoleh penambahan dana wakaf sebesar Rp8 milyar setiap bulannya (100 milyar per tahun). Suatu dana yang tidak dapat dikatakan kecil jika dibandingkan dengan perolehan laba 145 bank nasional yang sebesar Rp9,26 trilyun (Infobank, Juli 2002) ataupun realisasi perolehan PPh tahun 2000 sebesar Rp57 trilyun (Bisnis Indonesia, 9 Juli 2002).
Apakah itu sebuah angan-angan belaka ? Jika melihat tingkat kedermawanan masyarakat Indonesia sebagaimana telah diuraikan di atas, maka hal tersebut menjadi sesuatu yang bukannya tidak mungkin dapat terjadi. Apalagi menurut survei tentang pola sumbangan untuk organisasi/kegiatan keagamaan, 84% masyarakat mengaku pernah menyumbang untuk organisasi/kegiatan keagamaan dengan rata-rata sumbangan Rp304.000 per pemberi per tahun (PIRAC, 2002).
Wakaf Tunai
Di Indonesia, wakaf lebih banyak dikenal dalam bentuk properti seperti masjid, bangunan sekolah, tanah dan lain-lain. Padahal beberapa ulama telah lama memperkenalkan konsep wakaf tunai. Mazhab Syafii dan Hambali menyatakan bahwa obyek wakaf dapat berupa barang bergerak ataupun tidak bergerak, seperti mobil, hewan, rumah dan tanaman. Mazhab Maliki membolehkan mewakafkan manfaat hewan untuk dipergunakan dan membolehkan mewakafkan uang. Sedangkan mazhab Hanafi membolehkan wakaf digunakan untuk kepentingan usaha dengan sistem mudharabah atau sistem bagi hasil lainnya. Ulama Az-Zuhri (wafat 124 H) menyatakan bahwa wakaf dapat dilakukan dengan dinar dan dirham yang dijadikan modal usaha kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. KH. Didin Hafiduddhin berpendapat bahwa wakaf tunai dapat dibenarkan secara syariah dengan syarat uang tersebut tetap terjaga dan terpelihara (terjamin keutuhannya).
Dalam bentuk wakaf tunai, sumber dana wakaf menjadi lebih luas menjangkau semua kalangan, dari kalangan atas, menengah hingga kalangan bawah karena nilainya yang beragam dari nilai yang kecil hingga yang besar. Dengan jenis peruntukkannya yang lebih luas ketimbang zakat, maka pengelolaan dana wakaf akan menjadi lebih luas juga. Dengan demikian, potensi wakaf tunai dapat juga dipandang sebagai dana publik yang memang saat ini sedang dibutuhkan. Berapa banyak usaha sektor riil yang akan “hidup” karena implementasi wakaf tunai. Untuk kasus kabupaten Aceh Selatan, maka wakaf tunai pasti akan mampu mengcover kebutuhan dana investasi produk unggulan yang hanya sebesar Rp5,8 milyar dengan 1.718 unit usaha di bidang pangan, sandang dan kulit, kimia & bahan bangunan, logam dan kerajinan umum (Business News 6785/8 Juli 2002 hal-29).
Studi Kasus Pengelolaan Wakaf
Pengelolaan wakaf biasanya dilakukan oleh lembaga yang terpisah dari lembaga pengelolaan zakat, karena memang filosofinya yang berbeda. Tujuan penggunaan dana wakaf lebih luas daripada zakat. Menurut data Karim Business Consultant (2002), survey keberadaaan 104 yayasan wakaf di Suriah, Palestina, Tukri dan Mesir selama tahun 1930 – 1947 menunjukkan data antara lain : 58% berbentuk tanah wakaf yang terkonsentrasi di kota besar dalam bentuk rumah, gedung, tanah dan pertokoan. 35% terkonsentrasi di pedesaan dalam bentuk lahan perkebunan dan 17% berbentuk dinar dan dirham. Survey tersebut, menggambarkan dengan jelas bahwa obyek wakaf berupa uang (dinar dan dirham) sudah cukup lama dikenal. Adi Warman Karim menyatakan bahwa dari hasil survey tersebut juga dapat disimpulkan bahwa bentuk obyek wakaf sangat ditentukan dengan kondisi sosial masyarakat. Semakin maju tingkat sosial masyarakat, maka bentuk obyek wakafnya akan semakin berkembang sesuai dengan kondisi saat itu.
Pengelolaan wakaf di Bangladesh dilakukan oleh Kantor Administrasi Wakaf yang memiliki kewenangan mengambil alih pengelolaan wakaf dari pengelola yang tidak amanah/profesional dan menyerahkannya kepada pengelola lain yang lebih amanah/profesional. Selain itu, Kantor Administrasi Wakaf tersebut juga berwenang mengalihkan obyek wakaf yang tidak produktif dengan cara menjualnya, dan hasilnya dibelikan obyek lain yang lebih produktif (mirip metode ruislag).
Di Amerika, selain harta wakaf dikenal juga pinjaman bank untuk membangun gedung diatas tanah wakaf. Gedung tersebut kemudian disewakan. 80% hasil sewa digunakan untuk membayar pinjaman, sementara 20% hasilnya digunakan untuk operasional. Di Pakistan, harta wakaf digunakan untuk membangun akademi ulama, rumah sakit dan pusat riset. Di Uganda yang jumlah umat Islamnya hanya 25-30% saja, pengelolaan wakaf dilakukan oleh sebuah badan pemerintah yang mirip MUI (Majelis Ulama Indonesia). Badan ini mengelola wakaf yang ditujukan untuk kepentingan sosial seperti masjid, layanan sosial, rumah sakit dan lainnya.
Di Turki, dana wakaf digunakan untuk mendirikan rumah sakit modern, lembaga pendidikan dan layanan sosial, hotel (saat ini telah memiliki 55% saham di Taskin Sheraton Hotel), pabrik air minum, pabrik tekstil, usaha kontraktor dan usaha ekspor impor. Di India terdapat hal yang cukup mengherankan. Pemerintah India yang notabene beragama Hindu berkenan memberikan grant sebesar 32 juta rupee (pada tahun 1984) kepada kantor administrasi wakaf untuk dikelola. Dan ternyata, pengelolaan harta wakaf tersebut menghasilkan lebih dari 100.000 harta wakaf dengan pendapatan sekitar 200 juta rupee per tahun.
Peranan Perbankan Syariah dalam Wakaf Tunai
Dengan potensi yang sedemikian besar, maka pengelolaan wakaf tunai secara profesional menjadi suatu harapan bagi kemaslahatan ummat. Harapan terbesar ummat saat ini adalah bank syariah, yang merupakan salah satu lembaga profesional dalam bidang keuangan. Kenapa harus bank syariah ? Hal ini sesungguhnya merupakan hal yang niscaya dalam rangka menjaga kemurnian dan kesucian ibadah yang dilakukan oleh nasabah.
Ada beberapa peran bank syariah dalam pengelolaan wakaf tunai, yakni penerima dan penyalur dana wakaf, pengelola ataupun custody. Sebagai penerima, bank syariah dapat menggunakan jaringan cabangnya untuk mengumpulkan dana wakaf diri masyarakat. Pengalaman sebagai bank penerima setoran ini telah lama dilakukan sebagaimana halnya pada pelaksanaan penerimaan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). Dananya kemudian diserahkan kepada lembaga wakaf yang ditunjuk oleh pemerintah ataupun lembaga swasta lainnya yang profesional dibidangnya. Sebagai tanda teriuma, bank dapat menerbitkan sertifikat wakaf yang mendapat pengesahan dari pemerintah.
Peran yang kedua adalah sebagai pengelola dana wakaf. Pada peran yang satu ini, bank dapat bertindak hanya sebagai pengelola dana wakaf dalam bentuk investasi dalam berbagai bidang yang prospektif. Sumber dana wakaf dapat berasal dari lembaga pengumpul wakaf lainnya, baik swasta maupun pemerintah. Hasil pengelolaan dana wakaf tersebut kemudian akan dikembalikan kepada lembaga wakaf untuk disalurkan kepada maukuf alaih (pihak yang berhak menerima manfaat wakaf). Peran ketiga yang dapat dilakukan bank adalah sebagai pihak yang mendapat kepercayaan untuk mengelola administrasi dan dokumen harta wakaf dari badan/lembaga pengumpul wakaf. Pada peran ini, bank bertindak atas nama lembaga wakaf yang telah ditunjuk.
Namun demikian, sebagai institusi yang profesional dan dipercaya, maka bank sebenarnya dapat saja melaksanakan ketiga peran tersebut, yakni sebagai penerima, pengelola dan penyalur dana wakaf. Dengan memanfaatkan jaringan cabangnya, maka perolehan dan penyaluran wakaf tunai dapat dilakukan secara lebih optimal. Satu hal penting yang perlu diperhatikan adalah kewajiban bank syariah untuk menjamin keberadaan dana wakaf tersebut. Skema implementasi keterlibatan bank syariah dalam penerimaan, pengelola dan penyalur dana wakaf dapat dilihat pada Gambar 1.
Wakif
Bank Syariah
Hasil usaha
Penyaluran & pengelolaan dana
Maukuf alaih
Keterangan :
1. Wakif menyerahkan dana wakaf ke bank
2. Bank menyalurkan dana untuk usaha
3. Hasil usaha
4. Nilai pokok dikembalikan ke bank
5. Laba usaha diberikan ke maukuf alaih melalui bank
Laba
Pokok
5
5
4
3
2
1
Gambar 1. Skema penyaluran dana wakaf oleh bank syariah
Pengelolaan wakaf tunai oleh perbankan syariah, tidak hanya dimungkinkan semata-mata karena aspek teknis belaka, akan tetapi diharapkan juga dapat memberikan kontribusi optimal bagi perkembangan perbankan syariah itu sendiri. Beberapa dampak positif atas dikelolanya wakaf tunai oleh perbankan syariah adalah sebagai berikut:
1. Menambah alternatif perolehan pendapatan perbankan syariah.
2. Meningkatkan citra positif bank syariah.
3. Meningkatkan keberadaan (eksistensi) perbankan syariah, karena sosialisasi wakaf tunai kepada masyarakat, dengan sendirinya juga merupakan sosialisasi bagi perbankan syariah itu sendiri.
4. Keberhasilan sosialisi dan pengelolaan dana wakaf tunai adalah menyangkut pengelolaan dana publik yang cukup besar. Dampak lebih jauh, diharapkan akan mendorong bank-bank non-syariah untuk melakukan kegiatan perbankan atas prinsip syariah, yang pada akhirnya hal ini akan meningkatkan perkembangan perbankan syariah.
Penutup
Mencermati peluang dan historikal pengelolaan dana wakaf baik di Indonesia maupun di beberapa negara lainnya, dapat ditarik benang merah korelasi antara peluang, pengelolaan yang profesional dan hasil atau manfaat yang akan diterima oleh ummat. Ditengah kondisi krisis seperti saat ini, keinginan masyarakat tidak akan pernah pudar dalam hal berderma, apalagi bagi orang-orang sukses yang semakin bijak dan memahami intisari kehidupan di dunia ini. Semakin orang memahami intisari kehidupan ini, semakin tinggi tingkat kepedulian mereka. Hal ini harus ditangkap sebagai peluang yang tak pernah putus dalam pengumpulan dana wakaf. Tinggal permasalahannya adalah bagaimana mengelola dana-dana wakaf tersebut agar diperoleh implikasi yang optimal bagi kemaslahatan ummat. Pada akhirnya harus disadari bahwa semua harapan masyarakat untuk memperoleh kualitas hidup yang lebih baik dari pengelolaan wakaf secara profesional mau tidak mau telah menjadi beban dan tanggung jawab perbankan syariah. Bagaimana bank syariah ?
Wallahu’alam bishawab
Sunarto Zulkifli
Penggalangan dana lokal masih merupakan persoalan yang pelik bagi bangsa ini. Tingkat ketergantungan negeri ini terhadap dana asing masih begitu tinggi. Berdasarkan Direktori CSRO (Civil Society Resource Organization) tahun 2000, mayoritas dana yang dikelola oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) berasal dari luar negeri yakni mencapai 65%. Ini adalah salah satu indikasi keengganan sebagian komponen bangsa ini untuk segera memutuskan hubungan dengan IMF (International Monetary Funds) yang bisa jadi merupakan pihak yang menjadi referensi penyaluran dana ke Indonesia. Terputusnya hubungan dengan IMF dapat saja menyebabkan beberapa sumber dana LSM tersendat-sendat atau bahkan terhenti.
Penyebab lain yang mungkin adalah munculnya sikap pesimistis untuk menggunakan semua potensi yang dimiliki oleh bangsa ini. Padahal berdasarkan survey yang dilakukan oleh PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center), ternyata rate of giving masyarakat Indonesia masih cukup tinggi. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan Agustus 2000 – Agustus 2001, rate of giving masyarakat Indonesia adalah 96% dilakukan untuk perorangan, 84% untuk lembaga keagamaan dan 77% untuk lembaga non keagamaan. Nilai nyata penerimaan yang berhasil dikumpulkan oleh beberapa LSM dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai Penerimaan Tahunan 18 LSM di Indonesia
No.
Organisasi
Pendapatan tahunan
1
Yayasan Manusia Indonesia
Rp400 juta
2
Dompet Dhuafa
Rp11 milyar
3
Yayasan Mitra Mandiri
USD150.000
4
Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup
Rp736 juta
5
Yayasan Dana Sosial Al-Falah
Rp1,6 miliar
6
Komite Kemanusiaan Indonesia
Rp9,8 milyar
7
Yayasan Daarut Tauhid
Rp5 milyar
8
DML
Rp420 juta
9
Yayasan Dharma Wulan
Rp200 juta
10
MER-C
Rp240 juta
11
Bina Swadaya
Rp39 juta
12
Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih
Rp2,5 juta
13
Yayasan Tengko Situru’
Rp1,4 juta
14
Yayasan Kristen Untuk Kesejahteraan Umum
Rp100 milyar
15
Koperasi Setya Bhakti Wanita
Rp35,3 milyar
16
Dompet Sosial Ummul Quro’ (DSUQ)
Rp3 milyar
17
Yayasan Maha Bhoga Marga
Rp800 juta
18
Yayasan Bakti Nusantara Isafat
Rp600 juta
Sumber data : Membangun Kemandirian Berkarya, PIRAC, 2002
Data pada Tabel 1, yang hanya diperoleh dari 18 lembaga, menunjukkan bahwa peluang penggalangan dana masyarakat sangat besar. Padahal saat ini jumlah LSM ataupun lembaga-lembaga lain yang melakukan penggalangan dana masyarakat secara massal masih cukup banyak, seperti RCTI Peduli, Pundi Amal SCTV, TPI peduli, Kharisma AN-TV, Radio Elshinta Peduli, Dana Kemanusiaan News FM, Pro 2 FM Peduli, Ramaco Peduli dan lain-lain. Dengan potensi sebesar itu, maka sebenarnya ada peluang bagi bangsa ini untuk membiayai sendiri pembangunan yang dilaksanakan pemerintah.
Bagaimana dengan Wakaf ?
Secara bahasa, wakaf berati menahan. Secara istilah, wakaf berarti menahan harta yang dapat diambil manfaatnya untuk kebaikan tanpa merusak substansi kebendaannya. M.A. Mannan (2001) menyatkan bahwa wakaf adalah suatu tindakan penahanan dari penggunaan dan penyerahan asset dimana seseorang dapat memanfaatkan atau menggunakan hasilnya untuk tujuan amal, sepanjang barang tersebut masih ada. Sementara itu, dalam kompilasi hukum Islam pasal 215 juncto pasal 1 (1) PP No.28 tahun 1977, wakaf adalah perwakilan hukum seseorang atau sekelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta miliknya dan kemudian melembagakannya untuk digunakan untuk kepentingan ibadah atau kepentingan umum lainnya sesuai syariat Islam.
Wakaf sebagai salah satu instrumen penerimaan sosial dalam Islam sudah lama dikenal. Namun demikian, penerapannya di Indonesia hanya dikenal dalam bentuk fixed asset seperti masjid, rumah/bangunan dan tanah, bukan berupa uang tunai (wakaf tunai). Sebagai sebuah instrumen yang dipahami orang Islam sebagai ladang pahala yang tidak terputus, wakaf menjadi sangat diminati oleh kalangan menengah ke atas, karena nilainya yang cukup besar (berupa fixed asset). Data harta wakaf yang tercatat di PP Muhammadiyyah antara lain 2.360 masjid, 8.315 unit sekolah (termasuk pesantren dan perguruan tinggi), 239 unit Panti Asuhan Anak Yatim dan 50 unit klinik dan rumah sakit, serta masih banyak lagi harta wakaf lainnya (H. Chufran Hamal, Studi Kasus Pengelolaan Wakaf Persyarikatan Muhammadiyyah, 2002).
Jika wakaf tunai dapat diimplementasikan, maka bukan tidak mungkin penerimaan dengan instrumen ini menjadi lebih tinggi daripada instrumen lainnya seperti zakat, infaq, shadaqah, ataupun lainnya. Kenapa ? Dengan wakaf tunai, maka instrumen wakaf tidak lagi menjadi monopoli kalangan “berduit”. Kalangan menengah ke bawah pun bisa ikut berpartisipasi. Jika saja terdapat 10 juta saja masyarakat muslim yang mewakafkan dananya sebanyak Rp100 ribu, maka akan diperoleh pengumpulan dana wakaf sebesar Rp1 trilyun setiap bulan (Rp12 trilyun per tahun). Dan jika diinvestasikan dengan tingkat investasi 10% per tahun maka akan diperoleh penambahan dana wakaf sebesar Rp8 milyar setiap bulannya (100 milyar per tahun). Suatu dana yang tidak dapat dikatakan kecil jika dibandingkan dengan perolehan laba 145 bank nasional yang sebesar Rp9,26 trilyun (Infobank, Juli 2002) ataupun realisasi perolehan PPh tahun 2000 sebesar Rp57 trilyun (Bisnis Indonesia, 9 Juli 2002).
Apakah itu sebuah angan-angan belaka ? Jika melihat tingkat kedermawanan masyarakat Indonesia sebagaimana telah diuraikan di atas, maka hal tersebut menjadi sesuatu yang bukannya tidak mungkin dapat terjadi. Apalagi menurut survei tentang pola sumbangan untuk organisasi/kegiatan keagamaan, 84% masyarakat mengaku pernah menyumbang untuk organisasi/kegiatan keagamaan dengan rata-rata sumbangan Rp304.000 per pemberi per tahun (PIRAC, 2002).
Wakaf Tunai
Di Indonesia, wakaf lebih banyak dikenal dalam bentuk properti seperti masjid, bangunan sekolah, tanah dan lain-lain. Padahal beberapa ulama telah lama memperkenalkan konsep wakaf tunai. Mazhab Syafii dan Hambali menyatakan bahwa obyek wakaf dapat berupa barang bergerak ataupun tidak bergerak, seperti mobil, hewan, rumah dan tanaman. Mazhab Maliki membolehkan mewakafkan manfaat hewan untuk dipergunakan dan membolehkan mewakafkan uang. Sedangkan mazhab Hanafi membolehkan wakaf digunakan untuk kepentingan usaha dengan sistem mudharabah atau sistem bagi hasil lainnya. Ulama Az-Zuhri (wafat 124 H) menyatakan bahwa wakaf dapat dilakukan dengan dinar dan dirham yang dijadikan modal usaha kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. KH. Didin Hafiduddhin berpendapat bahwa wakaf tunai dapat dibenarkan secara syariah dengan syarat uang tersebut tetap terjaga dan terpelihara (terjamin keutuhannya).
Dalam bentuk wakaf tunai, sumber dana wakaf menjadi lebih luas menjangkau semua kalangan, dari kalangan atas, menengah hingga kalangan bawah karena nilainya yang beragam dari nilai yang kecil hingga yang besar. Dengan jenis peruntukkannya yang lebih luas ketimbang zakat, maka pengelolaan dana wakaf akan menjadi lebih luas juga. Dengan demikian, potensi wakaf tunai dapat juga dipandang sebagai dana publik yang memang saat ini sedang dibutuhkan. Berapa banyak usaha sektor riil yang akan “hidup” karena implementasi wakaf tunai. Untuk kasus kabupaten Aceh Selatan, maka wakaf tunai pasti akan mampu mengcover kebutuhan dana investasi produk unggulan yang hanya sebesar Rp5,8 milyar dengan 1.718 unit usaha di bidang pangan, sandang dan kulit, kimia & bahan bangunan, logam dan kerajinan umum (Business News 6785/8 Juli 2002 hal-29).
Studi Kasus Pengelolaan Wakaf
Pengelolaan wakaf biasanya dilakukan oleh lembaga yang terpisah dari lembaga pengelolaan zakat, karena memang filosofinya yang berbeda. Tujuan penggunaan dana wakaf lebih luas daripada zakat. Menurut data Karim Business Consultant (2002), survey keberadaaan 104 yayasan wakaf di Suriah, Palestina, Tukri dan Mesir selama tahun 1930 – 1947 menunjukkan data antara lain : 58% berbentuk tanah wakaf yang terkonsentrasi di kota besar dalam bentuk rumah, gedung, tanah dan pertokoan. 35% terkonsentrasi di pedesaan dalam bentuk lahan perkebunan dan 17% berbentuk dinar dan dirham. Survey tersebut, menggambarkan dengan jelas bahwa obyek wakaf berupa uang (dinar dan dirham) sudah cukup lama dikenal. Adi Warman Karim menyatakan bahwa dari hasil survey tersebut juga dapat disimpulkan bahwa bentuk obyek wakaf sangat ditentukan dengan kondisi sosial masyarakat. Semakin maju tingkat sosial masyarakat, maka bentuk obyek wakafnya akan semakin berkembang sesuai dengan kondisi saat itu.
Pengelolaan wakaf di Bangladesh dilakukan oleh Kantor Administrasi Wakaf yang memiliki kewenangan mengambil alih pengelolaan wakaf dari pengelola yang tidak amanah/profesional dan menyerahkannya kepada pengelola lain yang lebih amanah/profesional. Selain itu, Kantor Administrasi Wakaf tersebut juga berwenang mengalihkan obyek wakaf yang tidak produktif dengan cara menjualnya, dan hasilnya dibelikan obyek lain yang lebih produktif (mirip metode ruislag).
Di Amerika, selain harta wakaf dikenal juga pinjaman bank untuk membangun gedung diatas tanah wakaf. Gedung tersebut kemudian disewakan. 80% hasil sewa digunakan untuk membayar pinjaman, sementara 20% hasilnya digunakan untuk operasional. Di Pakistan, harta wakaf digunakan untuk membangun akademi ulama, rumah sakit dan pusat riset. Di Uganda yang jumlah umat Islamnya hanya 25-30% saja, pengelolaan wakaf dilakukan oleh sebuah badan pemerintah yang mirip MUI (Majelis Ulama Indonesia). Badan ini mengelola wakaf yang ditujukan untuk kepentingan sosial seperti masjid, layanan sosial, rumah sakit dan lainnya.
Di Turki, dana wakaf digunakan untuk mendirikan rumah sakit modern, lembaga pendidikan dan layanan sosial, hotel (saat ini telah memiliki 55% saham di Taskin Sheraton Hotel), pabrik air minum, pabrik tekstil, usaha kontraktor dan usaha ekspor impor. Di India terdapat hal yang cukup mengherankan. Pemerintah India yang notabene beragama Hindu berkenan memberikan grant sebesar 32 juta rupee (pada tahun 1984) kepada kantor administrasi wakaf untuk dikelola. Dan ternyata, pengelolaan harta wakaf tersebut menghasilkan lebih dari 100.000 harta wakaf dengan pendapatan sekitar 200 juta rupee per tahun.
Peranan Perbankan Syariah dalam Wakaf Tunai
Dengan potensi yang sedemikian besar, maka pengelolaan wakaf tunai secara profesional menjadi suatu harapan bagi kemaslahatan ummat. Harapan terbesar ummat saat ini adalah bank syariah, yang merupakan salah satu lembaga profesional dalam bidang keuangan. Kenapa harus bank syariah ? Hal ini sesungguhnya merupakan hal yang niscaya dalam rangka menjaga kemurnian dan kesucian ibadah yang dilakukan oleh nasabah.
Ada beberapa peran bank syariah dalam pengelolaan wakaf tunai, yakni penerima dan penyalur dana wakaf, pengelola ataupun custody. Sebagai penerima, bank syariah dapat menggunakan jaringan cabangnya untuk mengumpulkan dana wakaf diri masyarakat. Pengalaman sebagai bank penerima setoran ini telah lama dilakukan sebagaimana halnya pada pelaksanaan penerimaan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). Dananya kemudian diserahkan kepada lembaga wakaf yang ditunjuk oleh pemerintah ataupun lembaga swasta lainnya yang profesional dibidangnya. Sebagai tanda teriuma, bank dapat menerbitkan sertifikat wakaf yang mendapat pengesahan dari pemerintah.
Peran yang kedua adalah sebagai pengelola dana wakaf. Pada peran yang satu ini, bank dapat bertindak hanya sebagai pengelola dana wakaf dalam bentuk investasi dalam berbagai bidang yang prospektif. Sumber dana wakaf dapat berasal dari lembaga pengumpul wakaf lainnya, baik swasta maupun pemerintah. Hasil pengelolaan dana wakaf tersebut kemudian akan dikembalikan kepada lembaga wakaf untuk disalurkan kepada maukuf alaih (pihak yang berhak menerima manfaat wakaf). Peran ketiga yang dapat dilakukan bank adalah sebagai pihak yang mendapat kepercayaan untuk mengelola administrasi dan dokumen harta wakaf dari badan/lembaga pengumpul wakaf. Pada peran ini, bank bertindak atas nama lembaga wakaf yang telah ditunjuk.
Namun demikian, sebagai institusi yang profesional dan dipercaya, maka bank sebenarnya dapat saja melaksanakan ketiga peran tersebut, yakni sebagai penerima, pengelola dan penyalur dana wakaf. Dengan memanfaatkan jaringan cabangnya, maka perolehan dan penyaluran wakaf tunai dapat dilakukan secara lebih optimal. Satu hal penting yang perlu diperhatikan adalah kewajiban bank syariah untuk menjamin keberadaan dana wakaf tersebut. Skema implementasi keterlibatan bank syariah dalam penerimaan, pengelola dan penyalur dana wakaf dapat dilihat pada Gambar 1.
Wakif
Bank Syariah
Hasil usaha
Penyaluran & pengelolaan dana
Maukuf alaih
Keterangan :
1. Wakif menyerahkan dana wakaf ke bank
2. Bank menyalurkan dana untuk usaha
3. Hasil usaha
4. Nilai pokok dikembalikan ke bank
5. Laba usaha diberikan ke maukuf alaih melalui bank
Laba
Pokok
5
5
4
3
2
1
Gambar 1. Skema penyaluran dana wakaf oleh bank syariah
Pengelolaan wakaf tunai oleh perbankan syariah, tidak hanya dimungkinkan semata-mata karena aspek teknis belaka, akan tetapi diharapkan juga dapat memberikan kontribusi optimal bagi perkembangan perbankan syariah itu sendiri. Beberapa dampak positif atas dikelolanya wakaf tunai oleh perbankan syariah adalah sebagai berikut:
1. Menambah alternatif perolehan pendapatan perbankan syariah.
2. Meningkatkan citra positif bank syariah.
3. Meningkatkan keberadaan (eksistensi) perbankan syariah, karena sosialisasi wakaf tunai kepada masyarakat, dengan sendirinya juga merupakan sosialisasi bagi perbankan syariah itu sendiri.
4. Keberhasilan sosialisi dan pengelolaan dana wakaf tunai adalah menyangkut pengelolaan dana publik yang cukup besar. Dampak lebih jauh, diharapkan akan mendorong bank-bank non-syariah untuk melakukan kegiatan perbankan atas prinsip syariah, yang pada akhirnya hal ini akan meningkatkan perkembangan perbankan syariah.
Penutup
Mencermati peluang dan historikal pengelolaan dana wakaf baik di Indonesia maupun di beberapa negara lainnya, dapat ditarik benang merah korelasi antara peluang, pengelolaan yang profesional dan hasil atau manfaat yang akan diterima oleh ummat. Ditengah kondisi krisis seperti saat ini, keinginan masyarakat tidak akan pernah pudar dalam hal berderma, apalagi bagi orang-orang sukses yang semakin bijak dan memahami intisari kehidupan di dunia ini. Semakin orang memahami intisari kehidupan ini, semakin tinggi tingkat kepedulian mereka. Hal ini harus ditangkap sebagai peluang yang tak pernah putus dalam pengumpulan dana wakaf. Tinggal permasalahannya adalah bagaimana mengelola dana-dana wakaf tersebut agar diperoleh implikasi yang optimal bagi kemaslahatan ummat. Pada akhirnya harus disadari bahwa semua harapan masyarakat untuk memperoleh kualitas hidup yang lebih baik dari pengelolaan wakaf secara profesional mau tidak mau telah menjadi beban dan tanggung jawab perbankan syariah. Bagaimana bank syariah ?
Wallahu’alam bishawab
Sunarto Zulkifli
Potensi Pengelolaan Dana Wakaf Tunai
Tingkat Kedermawanan (Rate of Giving) Masyarakat
Penggalangan dana lokal masih merupakan persoalan yang pelik bagi bangsa ini. Tingkat ketergantungan negeri ini terhadap dana asing masih begitu tinggi. Berdasarkan Direktori CSRO (Civil Society Resource Organization) tahun 2000, mayoritas dana yang dikelola oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) berasal dari luar negeri yakni mencapai 65%. Ini adalah salah satu indikasi keengganan sebagian komponen bangsa ini untuk segera memutuskan hubungan dengan IMF (International Monetary Funds) yang bisa jadi merupakan pihak yang menjadi referensi penyaluran dana ke Indonesia. Terputusnya hubungan dengan IMF dapat saja menyebabkan beberapa sumber dana LSM tersendat-sendat atau bahkan terhenti.
Penyebab lain yang mungkin adalah munculnya sikap pesimistis untuk menggunakan semua potensi yang dimiliki oleh bangsa ini. Padahal berdasarkan survey yang dilakukan oleh PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center), ternyata rate of giving masyarakat Indonesia masih cukup tinggi. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan Agustus 2000 – Agustus 2001, rate of giving masyarakat Indonesia adalah 96% dilakukan untuk perorangan, 84% untuk lembaga keagamaan dan 77% untuk lembaga non keagamaan. Nilai nyata penerimaan yang berhasil dikumpulkan oleh beberapa LSM dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai Penerimaan Tahunan 18 LSM di Indonesia
No.
Organisasi
Pendapatan tahunan
1
Yayasan Manusia Indonesia
Rp400 juta
2
Dompet Dhuafa
Rp11 milyar
3
Yayasan Mitra Mandiri
USD150.000
4
Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup
Rp736 juta
5
Yayasan Dana Sosial Al-Falah
Rp1,6 miliar
6
Komite Kemanusiaan Indonesia
Rp9,8 milyar
7
Yayasan Daarut Tauhid
Rp5 milyar
8
DML
Rp420 juta
9
Yayasan Dharma Wulan
Rp200 juta
10
MER-C
Rp240 juta
11
Bina Swadaya
Rp39 juta
12
Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih
Rp2,5 juta
13
Yayasan Tengko Situru’
Rp1,4 juta
14
Yayasan Kristen Untuk Kesejahteraan Umum
Rp100 milyar
15
Koperasi Setya Bhakti Wanita
Rp35,3 milyar
16
Dompet Sosial Ummul Quro’ (DSUQ)
Rp3 milyar
17
Yayasan Maha Bhoga Marga
Rp800 juta
18
Yayasan Bakti Nusantara Isafat
Rp600 juta
Sumber data : Membangun Kemandirian Berkarya, PIRAC, 2002
Data pada Tabel 1, yang hanya diperoleh dari 18 lembaga, menunjukkan bahwa peluang penggalangan dana masyarakat sangat besar. Padahal saat ini jumlah LSM ataupun lembaga-lembaga lain yang melakukan penggalangan dana masyarakat secara massal masih cukup banyak, seperti RCTI Peduli, Pundi Amal SCTV, TPI peduli, Kharisma AN-TV, Radio Elshinta Peduli, Dana Kemanusiaan News FM, Pro 2 FM Peduli, Ramaco Peduli dan lain-lain. Dengan potensi sebesar itu, maka sebenarnya ada peluang bagi bangsa ini untuk membiayai sendiri pembangunan yang dilaksanakan pemerintah.
Bagaimana dengan Wakaf ?
Secara bahasa, wakaf berati menahan. Secara istilah, wakaf berarti menahan harta yang dapat diambil manfaatnya untuk kebaikan tanpa merusak substansi kebendaannya. M.A. Mannan (2001) menyatkan bahwa wakaf adalah suatu tindakan penahanan dari penggunaan dan penyerahan asset dimana seseorang dapat memanfaatkan atau menggunakan hasilnya untuk tujuan amal, sepanjang barang tersebut masih ada. Sementara itu, dalam kompilasi hukum Islam pasal 215 juncto pasal 1 (1) PP No.28 tahun 1977, wakaf adalah perwakilan hukum seseorang atau sekelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta miliknya dan kemudian melembagakannya untuk digunakan untuk kepentingan ibadah atau kepentingan umum lainnya sesuai syariat Islam.
Wakaf sebagai salah satu instrumen penerimaan sosial dalam Islam sudah lama dikenal. Namun demikian, penerapannya di Indonesia hanya dikenal dalam bentuk fixed asset seperti masjid, rumah/bangunan dan tanah, bukan berupa uang tunai (wakaf tunai). Sebagai sebuah instrumen yang dipahami orang Islam sebagai ladang pahala yang tidak terputus, wakaf menjadi sangat diminati oleh kalangan menengah ke atas, karena nilainya yang cukup besar (berupa fixed asset). Data harta wakaf yang tercatat di PP Muhammadiyyah antara lain 2.360 masjid, 8.315 unit sekolah (termasuk pesantren dan perguruan tinggi), 239 unit Panti Asuhan Anak Yatim dan 50 unit klinik dan rumah sakit, serta masih banyak lagi harta wakaf lainnya (H. Chufran Hamal, Studi Kasus Pengelolaan Wakaf Persyarikatan Muhammadiyyah, 2002).
Jika wakaf tunai dapat diimplementasikan, maka bukan tidak mungkin penerimaan dengan instrumen ini menjadi lebih tinggi daripada instrumen lainnya seperti zakat, infaq, shadaqah, ataupun lainnya. Kenapa ? Dengan wakaf tunai, maka instrumen wakaf tidak lagi menjadi monopoli kalangan “berduit”. Kalangan menengah ke bawah pun bisa ikut berpartisipasi. Jika saja terdapat 10 juta saja masyarakat muslim yang mewakafkan dananya sebanyak Rp100 ribu, maka akan diperoleh pengumpulan dana wakaf sebesar Rp1 trilyun setiap bulan (Rp12 trilyun per tahun). Dan jika diinvestasikan dengan tingkat investasi 10% per tahun maka akan diperoleh penambahan dana wakaf sebesar Rp8 milyar setiap bulannya (100 milyar per tahun). Suatu dana yang tidak dapat dikatakan kecil jika dibandingkan dengan perolehan laba 145 bank nasional yang sebesar Rp9,26 trilyun (Infobank, Juli 2002) ataupun realisasi perolehan PPh tahun 2000 sebesar Rp57 trilyun (Bisnis Indonesia, 9 Juli 2002).
Apakah itu sebuah angan-angan belaka ? Jika melihat tingkat kedermawanan masyarakat Indonesia sebagaimana telah diuraikan di atas, maka hal tersebut menjadi sesuatu yang bukannya tidak mungkin dapat terjadi. Apalagi menurut survei tentang pola sumbangan untuk organisasi/kegiatan keagamaan, 84% masyarakat mengaku pernah menyumbang untuk organisasi/kegiatan keagamaan dengan rata-rata sumbangan Rp304.000 per pemberi per tahun (PIRAC, 2002).
Wakaf Tunai
Di Indonesia, wakaf lebih banyak dikenal dalam bentuk properti seperti masjid, bangunan sekolah, tanah dan lain-lain. Padahal beberapa ulama telah lama memperkenalkan konsep wakaf tunai. Mazhab Syafii dan Hambali menyatakan bahwa obyek wakaf dapat berupa barang bergerak ataupun tidak bergerak, seperti mobil, hewan, rumah dan tanaman. Mazhab Maliki membolehkan mewakafkan manfaat hewan untuk dipergunakan dan membolehkan mewakafkan uang. Sedangkan mazhab Hanafi membolehkan wakaf digunakan untuk kepentingan usaha dengan sistem mudharabah atau sistem bagi hasil lainnya. Ulama Az-Zuhri (wafat 124 H) menyatakan bahwa wakaf dapat dilakukan dengan dinar dan dirham yang dijadikan modal usaha kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. KH. Didin Hafiduddhin berpendapat bahwa wakaf tunai dapat dibenarkan secara syariah dengan syarat uang tersebut tetap terjaga dan terpelihara (terjamin keutuhannya).
Dalam bentuk wakaf tunai, sumber dana wakaf menjadi lebih luas menjangkau semua kalangan, dari kalangan atas, menengah hingga kalangan bawah karena nilainya yang beragam dari nilai yang kecil hingga yang besar. Dengan jenis peruntukkannya yang lebih luas ketimbang zakat, maka pengelolaan dana wakaf akan menjadi lebih luas juga. Dengan demikian, potensi wakaf tunai dapat juga dipandang sebagai dana publik yang memang saat ini sedang dibutuhkan. Berapa banyak usaha sektor riil yang akan “hidup” karena implementasi wakaf tunai. Untuk kasus kabupaten Aceh Selatan, maka wakaf tunai pasti akan mampu mengcover kebutuhan dana investasi produk unggulan yang hanya sebesar Rp5,8 milyar dengan 1.718 unit usaha di bidang pangan, sandang dan kulit, kimia & bahan bangunan, logam dan kerajinan umum (Business News 6785/8 Juli 2002 hal-29).
Studi Kasus Pengelolaan Wakaf
Pengelolaan wakaf biasanya dilakukan oleh lembaga yang terpisah dari lembaga pengelolaan zakat, karena memang filosofinya yang berbeda. Tujuan penggunaan dana wakaf lebih luas daripada zakat. Menurut data Karim Business Consultant (2002), survey keberadaaan 104 yayasan wakaf di Suriah, Palestina, Tukri dan Mesir selama tahun 1930 – 1947 menunjukkan data antara lain : 58% berbentuk tanah wakaf yang terkonsentrasi di kota besar dalam bentuk rumah, gedung, tanah dan pertokoan. 35% terkonsentrasi di pedesaan dalam bentuk lahan perkebunan dan 17% berbentuk dinar dan dirham. Survey tersebut, menggambarkan dengan jelas bahwa obyek wakaf berupa uang (dinar dan dirham) sudah cukup lama dikenal. Adi Warman Karim menyatakan bahwa dari hasil survey tersebut juga dapat disimpulkan bahwa bentuk obyek wakaf sangat ditentukan dengan kondisi sosial masyarakat. Semakin maju tingkat sosial masyarakat, maka bentuk obyek wakafnya akan semakin berkembang sesuai dengan kondisi saat itu.
Pengelolaan wakaf di Bangladesh dilakukan oleh Kantor Administrasi Wakaf yang memiliki kewenangan mengambil alih pengelolaan wakaf dari pengelola yang tidak amanah/profesional dan menyerahkannya kepada pengelola lain yang lebih amanah/profesional. Selain itu, Kantor Administrasi Wakaf tersebut juga berwenang mengalihkan obyek wakaf yang tidak produktif dengan cara menjualnya, dan hasilnya dibelikan obyek lain yang lebih produktif (mirip metode ruislag).
Di Amerika, selain harta wakaf dikenal juga pinjaman bank untuk membangun gedung diatas tanah wakaf. Gedung tersebut kemudian disewakan. 80% hasil sewa digunakan untuk membayar pinjaman, sementara 20% hasilnya digunakan untuk operasional. Di Pakistan, harta wakaf digunakan untuk membangun akademi ulama, rumah sakit dan pusat riset. Di Uganda yang jumlah umat Islamnya hanya 25-30% saja, pengelolaan wakaf dilakukan oleh sebuah badan pemerintah yang mirip MUI (Majelis Ulama Indonesia). Badan ini mengelola wakaf yang ditujukan untuk kepentingan sosial seperti masjid, layanan sosial, rumah sakit dan lainnya.
Di Turki, dana wakaf digunakan untuk mendirikan rumah sakit modern, lembaga pendidikan dan layanan sosial, hotel (saat ini telah memiliki 55% saham di Taskin Sheraton Hotel), pabrik air minum, pabrik tekstil, usaha kontraktor dan usaha ekspor impor. Di India terdapat hal yang cukup mengherankan. Pemerintah India yang notabene beragama Hindu berkenan memberikan grant sebesar 32 juta rupee (pada tahun 1984) kepada kantor administrasi wakaf untuk dikelola. Dan ternyata, pengelolaan harta wakaf tersebut menghasilkan lebih dari 100.000 harta wakaf dengan pendapatan sekitar 200 juta rupee per tahun.
Peranan Perbankan Syariah dalam Wakaf Tunai
Dengan potensi yang sedemikian besar, maka pengelolaan wakaf tunai secara profesional menjadi suatu harapan bagi kemaslahatan ummat. Harapan terbesar ummat saat ini adalah bank syariah, yang merupakan salah satu lembaga profesional dalam bidang keuangan. Kenapa harus bank syariah ? Hal ini sesungguhnya merupakan hal yang niscaya dalam rangka menjaga kemurnian dan kesucian ibadah yang dilakukan oleh nasabah.
Ada beberapa peran bank syariah dalam pengelolaan wakaf tunai, yakni penerima dan penyalur dana wakaf, pengelola ataupun custody. Sebagai penerima, bank syariah dapat menggunakan jaringan cabangnya untuk mengumpulkan dana wakaf diri masyarakat. Pengalaman sebagai bank penerima setoran ini telah lama dilakukan sebagaimana halnya pada pelaksanaan penerimaan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). Dananya kemudian diserahkan kepada lembaga wakaf yang ditunjuk oleh pemerintah ataupun lembaga swasta lainnya yang profesional dibidangnya. Sebagai tanda teriuma, bank dapat menerbitkan sertifikat wakaf yang mendapat pengesahan dari pemerintah.
Peran yang kedua adalah sebagai pengelola dana wakaf. Pada peran yang satu ini, bank dapat bertindak hanya sebagai pengelola dana wakaf dalam bentuk investasi dalam berbagai bidang yang prospektif. Sumber dana wakaf dapat berasal dari lembaga pengumpul wakaf lainnya, baik swasta maupun pemerintah. Hasil pengelolaan dana wakaf tersebut kemudian akan dikembalikan kepada lembaga wakaf untuk disalurkan kepada maukuf alaih (pihak yang berhak menerima manfaat wakaf). Peran ketiga yang dapat dilakukan bank adalah sebagai pihak yang mendapat kepercayaan untuk mengelola administrasi dan dokumen harta wakaf dari badan/lembaga pengumpul wakaf. Pada peran ini, bank bertindak atas nama lembaga wakaf yang telah ditunjuk.
Namun demikian, sebagai institusi yang profesional dan dipercaya, maka bank sebenarnya dapat saja melaksanakan ketiga peran tersebut, yakni sebagai penerima, pengelola dan penyalur dana wakaf. Dengan memanfaatkan jaringan cabangnya, maka perolehan dan penyaluran wakaf tunai dapat dilakukan secara lebih optimal. Satu hal penting yang perlu diperhatikan adalah kewajiban bank syariah untuk menjamin keberadaan dana wakaf tersebut. Skema implementasi keterlibatan bank syariah dalam penerimaan, pengelola dan penyalur dana wakaf dapat dilihat pada Gambar 1.
Wakif
Bank Syariah
Hasil usaha
Penyaluran & pengelolaan dana
Maukuf alaih
Keterangan :
1. Wakif menyerahkan dana wakaf ke bank
2. Bank menyalurkan dana untuk usaha
3. Hasil usaha
4. Nilai pokok dikembalikan ke bank
5. Laba usaha diberikan ke maukuf alaih melalui bank
Laba
Pokok
5
5
4
3
2
1
Gambar 1. Skema penyaluran dana wakaf oleh bank syariah
Pengelolaan wakaf tunai oleh perbankan syariah, tidak hanya dimungkinkan semata-mata karena aspek teknis belaka, akan tetapi diharapkan juga dapat memberikan kontribusi optimal bagi perkembangan perbankan syariah itu sendiri. Beberapa dampak positif atas dikelolanya wakaf tunai oleh perbankan syariah adalah sebagai berikut:
1. Menambah alternatif perolehan pendapatan perbankan syariah.
2. Meningkatkan citra positif bank syariah.
3. Meningkatkan keberadaan (eksistensi) perbankan syariah, karena sosialisasi wakaf tunai kepada masyarakat, dengan sendirinya juga merupakan sosialisasi bagi perbankan syariah itu sendiri.
4. Keberhasilan sosialisi dan pengelolaan dana wakaf tunai adalah menyangkut pengelolaan dana publik yang cukup besar. Dampak lebih jauh, diharapkan akan mendorong bank-bank non-syariah untuk melakukan kegiatan perbankan atas prinsip syariah, yang pada akhirnya hal ini akan meningkatkan perkembangan perbankan syariah.
Penutup
Mencermati peluang dan historikal pengelolaan dana wakaf baik di Indonesia maupun di beberapa negara lainnya, dapat ditarik benang merah korelasi antara peluang, pengelolaan yang profesional dan hasil atau manfaat yang akan diterima oleh ummat. Ditengah kondisi krisis seperti saat ini, keinginan masyarakat tidak akan pernah pudar dalam hal berderma, apalagi bagi orang-orang sukses yang semakin bijak dan memahami intisari kehidupan di dunia ini. Semakin orang memahami intisari kehidupan ini, semakin tinggi tingkat kepedulian mereka. Hal ini harus ditangkap sebagai peluang yang tak pernah putus dalam pengumpulan dana wakaf. Tinggal permasalahannya adalah bagaimana mengelola dana-dana wakaf tersebut agar diperoleh implikasi yang optimal bagi kemaslahatan ummat. Pada akhirnya harus disadari bahwa semua harapan masyarakat untuk memperoleh kualitas hidup yang lebih baik dari pengelolaan wakaf secara profesional mau tidak mau telah menjadi beban dan tanggung jawab perbankan syariah. Bagaimana bank syariah ?
Wallahu’alam bishawab
Penggalangan dana lokal masih merupakan persoalan yang pelik bagi bangsa ini. Tingkat ketergantungan negeri ini terhadap dana asing masih begitu tinggi. Berdasarkan Direktori CSRO (Civil Society Resource Organization) tahun 2000, mayoritas dana yang dikelola oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) berasal dari luar negeri yakni mencapai 65%. Ini adalah salah satu indikasi keengganan sebagian komponen bangsa ini untuk segera memutuskan hubungan dengan IMF (International Monetary Funds) yang bisa jadi merupakan pihak yang menjadi referensi penyaluran dana ke Indonesia. Terputusnya hubungan dengan IMF dapat saja menyebabkan beberapa sumber dana LSM tersendat-sendat atau bahkan terhenti.
Penyebab lain yang mungkin adalah munculnya sikap pesimistis untuk menggunakan semua potensi yang dimiliki oleh bangsa ini. Padahal berdasarkan survey yang dilakukan oleh PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center), ternyata rate of giving masyarakat Indonesia masih cukup tinggi. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan Agustus 2000 – Agustus 2001, rate of giving masyarakat Indonesia adalah 96% dilakukan untuk perorangan, 84% untuk lembaga keagamaan dan 77% untuk lembaga non keagamaan. Nilai nyata penerimaan yang berhasil dikumpulkan oleh beberapa LSM dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai Penerimaan Tahunan 18 LSM di Indonesia
No.
Organisasi
Pendapatan tahunan
1
Yayasan Manusia Indonesia
Rp400 juta
2
Dompet Dhuafa
Rp11 milyar
3
Yayasan Mitra Mandiri
USD150.000
4
Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup
Rp736 juta
5
Yayasan Dana Sosial Al-Falah
Rp1,6 miliar
6
Komite Kemanusiaan Indonesia
Rp9,8 milyar
7
Yayasan Daarut Tauhid
Rp5 milyar
8
DML
Rp420 juta
9
Yayasan Dharma Wulan
Rp200 juta
10
MER-C
Rp240 juta
11
Bina Swadaya
Rp39 juta
12
Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih
Rp2,5 juta
13
Yayasan Tengko Situru’
Rp1,4 juta
14
Yayasan Kristen Untuk Kesejahteraan Umum
Rp100 milyar
15
Koperasi Setya Bhakti Wanita
Rp35,3 milyar
16
Dompet Sosial Ummul Quro’ (DSUQ)
Rp3 milyar
17
Yayasan Maha Bhoga Marga
Rp800 juta
18
Yayasan Bakti Nusantara Isafat
Rp600 juta
Sumber data : Membangun Kemandirian Berkarya, PIRAC, 2002
Data pada Tabel 1, yang hanya diperoleh dari 18 lembaga, menunjukkan bahwa peluang penggalangan dana masyarakat sangat besar. Padahal saat ini jumlah LSM ataupun lembaga-lembaga lain yang melakukan penggalangan dana masyarakat secara massal masih cukup banyak, seperti RCTI Peduli, Pundi Amal SCTV, TPI peduli, Kharisma AN-TV, Radio Elshinta Peduli, Dana Kemanusiaan News FM, Pro 2 FM Peduli, Ramaco Peduli dan lain-lain. Dengan potensi sebesar itu, maka sebenarnya ada peluang bagi bangsa ini untuk membiayai sendiri pembangunan yang dilaksanakan pemerintah.
Bagaimana dengan Wakaf ?
Secara bahasa, wakaf berati menahan. Secara istilah, wakaf berarti menahan harta yang dapat diambil manfaatnya untuk kebaikan tanpa merusak substansi kebendaannya. M.A. Mannan (2001) menyatkan bahwa wakaf adalah suatu tindakan penahanan dari penggunaan dan penyerahan asset dimana seseorang dapat memanfaatkan atau menggunakan hasilnya untuk tujuan amal, sepanjang barang tersebut masih ada. Sementara itu, dalam kompilasi hukum Islam pasal 215 juncto pasal 1 (1) PP No.28 tahun 1977, wakaf adalah perwakilan hukum seseorang atau sekelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta miliknya dan kemudian melembagakannya untuk digunakan untuk kepentingan ibadah atau kepentingan umum lainnya sesuai syariat Islam.
Wakaf sebagai salah satu instrumen penerimaan sosial dalam Islam sudah lama dikenal. Namun demikian, penerapannya di Indonesia hanya dikenal dalam bentuk fixed asset seperti masjid, rumah/bangunan dan tanah, bukan berupa uang tunai (wakaf tunai). Sebagai sebuah instrumen yang dipahami orang Islam sebagai ladang pahala yang tidak terputus, wakaf menjadi sangat diminati oleh kalangan menengah ke atas, karena nilainya yang cukup besar (berupa fixed asset). Data harta wakaf yang tercatat di PP Muhammadiyyah antara lain 2.360 masjid, 8.315 unit sekolah (termasuk pesantren dan perguruan tinggi), 239 unit Panti Asuhan Anak Yatim dan 50 unit klinik dan rumah sakit, serta masih banyak lagi harta wakaf lainnya (H. Chufran Hamal, Studi Kasus Pengelolaan Wakaf Persyarikatan Muhammadiyyah, 2002).
Jika wakaf tunai dapat diimplementasikan, maka bukan tidak mungkin penerimaan dengan instrumen ini menjadi lebih tinggi daripada instrumen lainnya seperti zakat, infaq, shadaqah, ataupun lainnya. Kenapa ? Dengan wakaf tunai, maka instrumen wakaf tidak lagi menjadi monopoli kalangan “berduit”. Kalangan menengah ke bawah pun bisa ikut berpartisipasi. Jika saja terdapat 10 juta saja masyarakat muslim yang mewakafkan dananya sebanyak Rp100 ribu, maka akan diperoleh pengumpulan dana wakaf sebesar Rp1 trilyun setiap bulan (Rp12 trilyun per tahun). Dan jika diinvestasikan dengan tingkat investasi 10% per tahun maka akan diperoleh penambahan dana wakaf sebesar Rp8 milyar setiap bulannya (100 milyar per tahun). Suatu dana yang tidak dapat dikatakan kecil jika dibandingkan dengan perolehan laba 145 bank nasional yang sebesar Rp9,26 trilyun (Infobank, Juli 2002) ataupun realisasi perolehan PPh tahun 2000 sebesar Rp57 trilyun (Bisnis Indonesia, 9 Juli 2002).
Apakah itu sebuah angan-angan belaka ? Jika melihat tingkat kedermawanan masyarakat Indonesia sebagaimana telah diuraikan di atas, maka hal tersebut menjadi sesuatu yang bukannya tidak mungkin dapat terjadi. Apalagi menurut survei tentang pola sumbangan untuk organisasi/kegiatan keagamaan, 84% masyarakat mengaku pernah menyumbang untuk organisasi/kegiatan keagamaan dengan rata-rata sumbangan Rp304.000 per pemberi per tahun (PIRAC, 2002).
Wakaf Tunai
Di Indonesia, wakaf lebih banyak dikenal dalam bentuk properti seperti masjid, bangunan sekolah, tanah dan lain-lain. Padahal beberapa ulama telah lama memperkenalkan konsep wakaf tunai. Mazhab Syafii dan Hambali menyatakan bahwa obyek wakaf dapat berupa barang bergerak ataupun tidak bergerak, seperti mobil, hewan, rumah dan tanaman. Mazhab Maliki membolehkan mewakafkan manfaat hewan untuk dipergunakan dan membolehkan mewakafkan uang. Sedangkan mazhab Hanafi membolehkan wakaf digunakan untuk kepentingan usaha dengan sistem mudharabah atau sistem bagi hasil lainnya. Ulama Az-Zuhri (wafat 124 H) menyatakan bahwa wakaf dapat dilakukan dengan dinar dan dirham yang dijadikan modal usaha kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. KH. Didin Hafiduddhin berpendapat bahwa wakaf tunai dapat dibenarkan secara syariah dengan syarat uang tersebut tetap terjaga dan terpelihara (terjamin keutuhannya).
Dalam bentuk wakaf tunai, sumber dana wakaf menjadi lebih luas menjangkau semua kalangan, dari kalangan atas, menengah hingga kalangan bawah karena nilainya yang beragam dari nilai yang kecil hingga yang besar. Dengan jenis peruntukkannya yang lebih luas ketimbang zakat, maka pengelolaan dana wakaf akan menjadi lebih luas juga. Dengan demikian, potensi wakaf tunai dapat juga dipandang sebagai dana publik yang memang saat ini sedang dibutuhkan. Berapa banyak usaha sektor riil yang akan “hidup” karena implementasi wakaf tunai. Untuk kasus kabupaten Aceh Selatan, maka wakaf tunai pasti akan mampu mengcover kebutuhan dana investasi produk unggulan yang hanya sebesar Rp5,8 milyar dengan 1.718 unit usaha di bidang pangan, sandang dan kulit, kimia & bahan bangunan, logam dan kerajinan umum (Business News 6785/8 Juli 2002 hal-29).
Studi Kasus Pengelolaan Wakaf
Pengelolaan wakaf biasanya dilakukan oleh lembaga yang terpisah dari lembaga pengelolaan zakat, karena memang filosofinya yang berbeda. Tujuan penggunaan dana wakaf lebih luas daripada zakat. Menurut data Karim Business Consultant (2002), survey keberadaaan 104 yayasan wakaf di Suriah, Palestina, Tukri dan Mesir selama tahun 1930 – 1947 menunjukkan data antara lain : 58% berbentuk tanah wakaf yang terkonsentrasi di kota besar dalam bentuk rumah, gedung, tanah dan pertokoan. 35% terkonsentrasi di pedesaan dalam bentuk lahan perkebunan dan 17% berbentuk dinar dan dirham. Survey tersebut, menggambarkan dengan jelas bahwa obyek wakaf berupa uang (dinar dan dirham) sudah cukup lama dikenal. Adi Warman Karim menyatakan bahwa dari hasil survey tersebut juga dapat disimpulkan bahwa bentuk obyek wakaf sangat ditentukan dengan kondisi sosial masyarakat. Semakin maju tingkat sosial masyarakat, maka bentuk obyek wakafnya akan semakin berkembang sesuai dengan kondisi saat itu.
Pengelolaan wakaf di Bangladesh dilakukan oleh Kantor Administrasi Wakaf yang memiliki kewenangan mengambil alih pengelolaan wakaf dari pengelola yang tidak amanah/profesional dan menyerahkannya kepada pengelola lain yang lebih amanah/profesional. Selain itu, Kantor Administrasi Wakaf tersebut juga berwenang mengalihkan obyek wakaf yang tidak produktif dengan cara menjualnya, dan hasilnya dibelikan obyek lain yang lebih produktif (mirip metode ruislag).
Di Amerika, selain harta wakaf dikenal juga pinjaman bank untuk membangun gedung diatas tanah wakaf. Gedung tersebut kemudian disewakan. 80% hasil sewa digunakan untuk membayar pinjaman, sementara 20% hasilnya digunakan untuk operasional. Di Pakistan, harta wakaf digunakan untuk membangun akademi ulama, rumah sakit dan pusat riset. Di Uganda yang jumlah umat Islamnya hanya 25-30% saja, pengelolaan wakaf dilakukan oleh sebuah badan pemerintah yang mirip MUI (Majelis Ulama Indonesia). Badan ini mengelola wakaf yang ditujukan untuk kepentingan sosial seperti masjid, layanan sosial, rumah sakit dan lainnya.
Di Turki, dana wakaf digunakan untuk mendirikan rumah sakit modern, lembaga pendidikan dan layanan sosial, hotel (saat ini telah memiliki 55% saham di Taskin Sheraton Hotel), pabrik air minum, pabrik tekstil, usaha kontraktor dan usaha ekspor impor. Di India terdapat hal yang cukup mengherankan. Pemerintah India yang notabene beragama Hindu berkenan memberikan grant sebesar 32 juta rupee (pada tahun 1984) kepada kantor administrasi wakaf untuk dikelola. Dan ternyata, pengelolaan harta wakaf tersebut menghasilkan lebih dari 100.000 harta wakaf dengan pendapatan sekitar 200 juta rupee per tahun.
Peranan Perbankan Syariah dalam Wakaf Tunai
Dengan potensi yang sedemikian besar, maka pengelolaan wakaf tunai secara profesional menjadi suatu harapan bagi kemaslahatan ummat. Harapan terbesar ummat saat ini adalah bank syariah, yang merupakan salah satu lembaga profesional dalam bidang keuangan. Kenapa harus bank syariah ? Hal ini sesungguhnya merupakan hal yang niscaya dalam rangka menjaga kemurnian dan kesucian ibadah yang dilakukan oleh nasabah.
Ada beberapa peran bank syariah dalam pengelolaan wakaf tunai, yakni penerima dan penyalur dana wakaf, pengelola ataupun custody. Sebagai penerima, bank syariah dapat menggunakan jaringan cabangnya untuk mengumpulkan dana wakaf diri masyarakat. Pengalaman sebagai bank penerima setoran ini telah lama dilakukan sebagaimana halnya pada pelaksanaan penerimaan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). Dananya kemudian diserahkan kepada lembaga wakaf yang ditunjuk oleh pemerintah ataupun lembaga swasta lainnya yang profesional dibidangnya. Sebagai tanda teriuma, bank dapat menerbitkan sertifikat wakaf yang mendapat pengesahan dari pemerintah.
Peran yang kedua adalah sebagai pengelola dana wakaf. Pada peran yang satu ini, bank dapat bertindak hanya sebagai pengelola dana wakaf dalam bentuk investasi dalam berbagai bidang yang prospektif. Sumber dana wakaf dapat berasal dari lembaga pengumpul wakaf lainnya, baik swasta maupun pemerintah. Hasil pengelolaan dana wakaf tersebut kemudian akan dikembalikan kepada lembaga wakaf untuk disalurkan kepada maukuf alaih (pihak yang berhak menerima manfaat wakaf). Peran ketiga yang dapat dilakukan bank adalah sebagai pihak yang mendapat kepercayaan untuk mengelola administrasi dan dokumen harta wakaf dari badan/lembaga pengumpul wakaf. Pada peran ini, bank bertindak atas nama lembaga wakaf yang telah ditunjuk.
Namun demikian, sebagai institusi yang profesional dan dipercaya, maka bank sebenarnya dapat saja melaksanakan ketiga peran tersebut, yakni sebagai penerima, pengelola dan penyalur dana wakaf. Dengan memanfaatkan jaringan cabangnya, maka perolehan dan penyaluran wakaf tunai dapat dilakukan secara lebih optimal. Satu hal penting yang perlu diperhatikan adalah kewajiban bank syariah untuk menjamin keberadaan dana wakaf tersebut. Skema implementasi keterlibatan bank syariah dalam penerimaan, pengelola dan penyalur dana wakaf dapat dilihat pada Gambar 1.
Wakif
Bank Syariah
Hasil usaha
Penyaluran & pengelolaan dana
Maukuf alaih
Keterangan :
1. Wakif menyerahkan dana wakaf ke bank
2. Bank menyalurkan dana untuk usaha
3. Hasil usaha
4. Nilai pokok dikembalikan ke bank
5. Laba usaha diberikan ke maukuf alaih melalui bank
Laba
Pokok
5
5
4
3
2
1
Gambar 1. Skema penyaluran dana wakaf oleh bank syariah
Pengelolaan wakaf tunai oleh perbankan syariah, tidak hanya dimungkinkan semata-mata karena aspek teknis belaka, akan tetapi diharapkan juga dapat memberikan kontribusi optimal bagi perkembangan perbankan syariah itu sendiri. Beberapa dampak positif atas dikelolanya wakaf tunai oleh perbankan syariah adalah sebagai berikut:
1. Menambah alternatif perolehan pendapatan perbankan syariah.
2. Meningkatkan citra positif bank syariah.
3. Meningkatkan keberadaan (eksistensi) perbankan syariah, karena sosialisasi wakaf tunai kepada masyarakat, dengan sendirinya juga merupakan sosialisasi bagi perbankan syariah itu sendiri.
4. Keberhasilan sosialisi dan pengelolaan dana wakaf tunai adalah menyangkut pengelolaan dana publik yang cukup besar. Dampak lebih jauh, diharapkan akan mendorong bank-bank non-syariah untuk melakukan kegiatan perbankan atas prinsip syariah, yang pada akhirnya hal ini akan meningkatkan perkembangan perbankan syariah.
Penutup
Mencermati peluang dan historikal pengelolaan dana wakaf baik di Indonesia maupun di beberapa negara lainnya, dapat ditarik benang merah korelasi antara peluang, pengelolaan yang profesional dan hasil atau manfaat yang akan diterima oleh ummat. Ditengah kondisi krisis seperti saat ini, keinginan masyarakat tidak akan pernah pudar dalam hal berderma, apalagi bagi orang-orang sukses yang semakin bijak dan memahami intisari kehidupan di dunia ini. Semakin orang memahami intisari kehidupan ini, semakin tinggi tingkat kepedulian mereka. Hal ini harus ditangkap sebagai peluang yang tak pernah putus dalam pengumpulan dana wakaf. Tinggal permasalahannya adalah bagaimana mengelola dana-dana wakaf tersebut agar diperoleh implikasi yang optimal bagi kemaslahatan ummat. Pada akhirnya harus disadari bahwa semua harapan masyarakat untuk memperoleh kualitas hidup yang lebih baik dari pengelolaan wakaf secara profesional mau tidak mau telah menjadi beban dan tanggung jawab perbankan syariah. Bagaimana bank syariah ?
Wallahu’alam bishawab
Saturday, April 5, 2008
Apa itu Musyarakah?
Setelah membahas tentang Murabahah, sekarang kita akan membahas ttg musyarakah. Musyarakah adalah akad kerjasama (syirkah) antara 2 orang atau lebih untuk berusaha, kemudian setelah mendapatkan hasil akan dibagi berdasarkan nisbah bagi hasil yang disepakati.
Contoh: Ibu Aghniya memiliki uang Rp350 juta dan ingin membuka usaha jual beli motor. Namun usaha tersebut membutuhkan modal minimal Rp500 juta. Untuk itu, ia datang ke bank syariah untuk mendapatkan tambahan modal. Setelah dianalisa oleh bank, ibu Aghniya mendapatkan tambahan modal sesuai yang diinginkan dengan nisbah bagi hasil 30% untuk bank dan 70% untuk ibu Aghniya. Inilah yang disebutkan sebagai musyarakah.
Apa bedanya dengan di bank konvensional?
1. Pada musyarakah, bank menanggung risiko ketidakpastian hasil karena harus menunggu kinaerja usaha nasabah terlebih dahulu. Jika usaha menghasilkan omzet Rp200 juta, maka bank akan menerima bagi hasil sebesar Rp60 juta (30%). Jika bulan berikutnya omzet nasabah turun menjadi Rp100 juta, maka bank hanya akn mendapatkan bagi hasil Rp30 juta saja.
Sedangkan di bank konvensional ditetapkan bunga yang besarnya pasti tanpa harus tergantung kinerja usaha nasabah. Meskipun usaha nasabah sedang turun ataupun naik, pendapatan bank konvensional tetap sama.
2. Bank konvensional menggunakan sistem bunga, sedangkan di bank syariah menggunakan nisbah bagi hasil.
3. Bank konvensional tidak peduli kinberja usaha nasabah, sedangkan bank syariah sangat tergantung kinerja usaha nasabah.
Menurut saya, prinsip musyarakah lebih fair ketimbang kredit modal kerja di bank konvesnional. Bagaimana pendapat anda?
Contoh: Ibu Aghniya memiliki uang Rp350 juta dan ingin membuka usaha jual beli motor. Namun usaha tersebut membutuhkan modal minimal Rp500 juta. Untuk itu, ia datang ke bank syariah untuk mendapatkan tambahan modal. Setelah dianalisa oleh bank, ibu Aghniya mendapatkan tambahan modal sesuai yang diinginkan dengan nisbah bagi hasil 30% untuk bank dan 70% untuk ibu Aghniya. Inilah yang disebutkan sebagai musyarakah.
Apa bedanya dengan di bank konvensional?
1. Pada musyarakah, bank menanggung risiko ketidakpastian hasil karena harus menunggu kinaerja usaha nasabah terlebih dahulu. Jika usaha menghasilkan omzet Rp200 juta, maka bank akan menerima bagi hasil sebesar Rp60 juta (30%). Jika bulan berikutnya omzet nasabah turun menjadi Rp100 juta, maka bank hanya akn mendapatkan bagi hasil Rp30 juta saja.
Sedangkan di bank konvensional ditetapkan bunga yang besarnya pasti tanpa harus tergantung kinerja usaha nasabah. Meskipun usaha nasabah sedang turun ataupun naik, pendapatan bank konvensional tetap sama.
2. Bank konvensional menggunakan sistem bunga, sedangkan di bank syariah menggunakan nisbah bagi hasil.
3. Bank konvensional tidak peduli kinberja usaha nasabah, sedangkan bank syariah sangat tergantung kinerja usaha nasabah.
Menurut saya, prinsip musyarakah lebih fair ketimbang kredit modal kerja di bank konvesnional. Bagaimana pendapat anda?
Thursday, April 3, 2008
Apa itu MURABAHAH?
Saya mau share...
Anda yang pernah denger atau baca ttg bank syariah pasti pernah denger/baca ttg MURABAHAH. Nah, apa sih itu murabahah?
Murabahah artinya akad transaksi menjual suatu barang dengan mengambil keuntungan tertentu dari harga beli semula. Contoh: Bapak Rizqu membeli sepeda seharga Rp1 juta. Kemudian ia menjualnya kembali kepada Ibu Azka seharga Rp1,2 juta. Inilah yang disebut murabahah. Dalam bahasa Arab, keuntungan Rp200 ribu (1,2 juta - 1 juta) disebut ribhun (kelebihan). Makanya transaksi seperti demikian disebut MURABAHAH.
Dalam prakteknya, Bank Syariah bisa memberikan pembiayaan (kredit) dengan akad Murabahah. Artinya, akan membeli suatu barang dengan harga tertentu dan menjualnya kembali dengan harga baru setelah ditambah tingkat keuntungan bank, dengan sistem pembayaran diangsur.
Contoh: Bapak Muhammad berencana memiliki sebuah mobil seharga Rp300 juta. Bank Syariah akan membeli secara tunai mobil tersebut kepada dealer dan menjualnya kembali kepada Bapak Muhammad seharga Rp350 juta tetapi diangsur selama 2 tahun.
Lho, jadi apa bedanya dengan bank konvensional?
1. Transaksinya adalah jual beli, jadi obyeknya mobil bukan uang dan harus disebutkan didalam akad. Sementara, di bank konvensional transaksinya adalah meminjamkan uang, bukan transaksi jual beli mobil.
2. Harga jual mobil dari bank kepada Bapak Muhammad tidak akan berubah hingga masa angsuran berakhir. Kenapa? karena obyek transaksi adalah mobil bukan uang. Sementara di bank konvensional, nilai angsuran akan sangat tergantung fluktuasi suku bunga di pasar uang. Apabila suku bunga naik, maka angsuran pun akan naik. Saat ini, ada juga bank konvensional yang berani angsuran fix, tetapi biasanya hanya terbatas 1 atau 2 tahun, selebihnya tergantung suku bunga pasar...
Jadi manfaat buat pengguna bank syariah adalah bisa memperkirakan dengan pasti pengeluaran yang harus dipersiapkan selama jangka waktu tertentu, tanpa takut flukttuasi tingkat suku bunga.
Gimana? Kalau menurut saya ini jauh lebih unggul, dan pastinya lebih syariah dan berkah. Ada pendapat lain?
Anda yang pernah denger atau baca ttg bank syariah pasti pernah denger/baca ttg MURABAHAH. Nah, apa sih itu murabahah?
Murabahah artinya akad transaksi menjual suatu barang dengan mengambil keuntungan tertentu dari harga beli semula. Contoh: Bapak Rizqu membeli sepeda seharga Rp1 juta. Kemudian ia menjualnya kembali kepada Ibu Azka seharga Rp1,2 juta. Inilah yang disebut murabahah. Dalam bahasa Arab, keuntungan Rp200 ribu (1,2 juta - 1 juta) disebut ribhun (kelebihan). Makanya transaksi seperti demikian disebut MURABAHAH.
Dalam prakteknya, Bank Syariah bisa memberikan pembiayaan (kredit) dengan akad Murabahah. Artinya, akan membeli suatu barang dengan harga tertentu dan menjualnya kembali dengan harga baru setelah ditambah tingkat keuntungan bank, dengan sistem pembayaran diangsur.
Contoh: Bapak Muhammad berencana memiliki sebuah mobil seharga Rp300 juta. Bank Syariah akan membeli secara tunai mobil tersebut kepada dealer dan menjualnya kembali kepada Bapak Muhammad seharga Rp350 juta tetapi diangsur selama 2 tahun.
Lho, jadi apa bedanya dengan bank konvensional?
1. Transaksinya adalah jual beli, jadi obyeknya mobil bukan uang dan harus disebutkan didalam akad. Sementara, di bank konvensional transaksinya adalah meminjamkan uang, bukan transaksi jual beli mobil.
2. Harga jual mobil dari bank kepada Bapak Muhammad tidak akan berubah hingga masa angsuran berakhir. Kenapa? karena obyek transaksi adalah mobil bukan uang. Sementara di bank konvensional, nilai angsuran akan sangat tergantung fluktuasi suku bunga di pasar uang. Apabila suku bunga naik, maka angsuran pun akan naik. Saat ini, ada juga bank konvensional yang berani angsuran fix, tetapi biasanya hanya terbatas 1 atau 2 tahun, selebihnya tergantung suku bunga pasar...
Jadi manfaat buat pengguna bank syariah adalah bisa memperkirakan dengan pasti pengeluaran yang harus dipersiapkan selama jangka waktu tertentu, tanpa takut flukttuasi tingkat suku bunga.
Gimana? Kalau menurut saya ini jauh lebih unggul, dan pastinya lebih syariah dan berkah. Ada pendapat lain?
Gimana ya cara layout blog?
Hi friends...
Saya ingin menambahkan beberapa fasilitas di blog ini seperti counter pengunjung. Gimana ya caranya...? mohon bantuan dong..., maklum baru belajar nih..
Thanks
Saya ingin menambahkan beberapa fasilitas di blog ini seperti counter pengunjung. Gimana ya caranya...? mohon bantuan dong..., maklum baru belajar nih..
Thanks
Bisa gak bank syariah beli asset?
Baru saja saya kedatangan seorang bapak tua. Beliau mendengar di bank syariah ada produk pembiayaan jual beli alias murabahah. Beliau datang membawa sertifikat rumah dan meminta tolong agar bank membeli aset tersebut. Saya tanya Bapak itu, kenapa mau jual rumah datang ke bank syariah. Padahal biasanya, orang datang ke bank syariah itu dalam kondisi ingin pembiayaan untuk beli rumah. Dengan kalimat sederhana Bapak itu bilang, "kan tertulis di brosur ada produk pembiayaan jual beli..., kenapa cuma untuk beli rumah saja, dan tidak jual?".
Saya jelaskan bahwa saat ini bank syariah hanya melayani pembiayaan untuk beli rumah. Namun demikian, untuk memenuhi keinginan bapak itu, saya nyatakan bahwa saya akan membantu bapak itu menemukan pembeli rumah tanpa ada komitmen keharusan tentunya. Bapak itu bisa menerima dan kembali pulang.
Setelah itu, saya jadi berfikir... Bapak itu tidak salah. Seharusnya bank syariah bisa menyediakan layanan yang mempertemukan penjual dan pembeli. Tidak hanya menyediakan layanan pembiayaan beli rumah saja. Tinggal bikin SOPnya saja, biar tidak dibilang bikin usaha dalam bank. Biar jelas komisinya lari kemana... tidak lari ke kantong individu (nanti dibilang makelar lagi.. he..he..).
Ide saya, bank syariah perlu menyediakan ruangan khusus yang menampilkan seluruh jaringan dan produk nasabah pembiayaannya di ruang tunggu. Sehingga nantinya orang bisa melihat peluang bisnis saat datang ke bank syariah. Artinya, bank syariah nantinya akan menjadi mediator.
Ok.. siapa yang mau duluan merealisasikan ide ini...?
Saya jelaskan bahwa saat ini bank syariah hanya melayani pembiayaan untuk beli rumah. Namun demikian, untuk memenuhi keinginan bapak itu, saya nyatakan bahwa saya akan membantu bapak itu menemukan pembeli rumah tanpa ada komitmen keharusan tentunya. Bapak itu bisa menerima dan kembali pulang.
Setelah itu, saya jadi berfikir... Bapak itu tidak salah. Seharusnya bank syariah bisa menyediakan layanan yang mempertemukan penjual dan pembeli. Tidak hanya menyediakan layanan pembiayaan beli rumah saja. Tinggal bikin SOPnya saja, biar tidak dibilang bikin usaha dalam bank. Biar jelas komisinya lari kemana... tidak lari ke kantong individu (nanti dibilang makelar lagi.. he..he..).
Ide saya, bank syariah perlu menyediakan ruangan khusus yang menampilkan seluruh jaringan dan produk nasabah pembiayaannya di ruang tunggu. Sehingga nantinya orang bisa melihat peluang bisnis saat datang ke bank syariah. Artinya, bank syariah nantinya akan menjadi mediator.
Ok.. siapa yang mau duluan merealisasikan ide ini...?
Subscribe to:
Posts (Atom)