Wednesday, April 9, 2008

Potensi Pengelolaan Dana Wakaf Tunai

Tingkat Kedermawanan (Rate of Giving) Masyarakat
Penggalangan dana lokal masih merupakan persoalan yang pelik bagi bangsa ini. Tingkat ketergantungan negeri ini terhadap dana asing masih begitu tinggi. Berdasarkan Direktori CSRO (Civil Society Resource Organization) tahun 2000, mayoritas dana yang dikelola oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) berasal dari luar negeri yakni mencapai 65%. Ini adalah salah satu indikasi keengganan sebagian komponen bangsa ini untuk segera memutuskan hubungan dengan IMF (International Monetary Funds) yang bisa jadi merupakan pihak yang menjadi referensi penyaluran dana ke Indonesia. Terputusnya hubungan dengan IMF dapat saja menyebabkan beberapa sumber dana LSM tersendat-sendat atau bahkan terhenti.

Penyebab lain yang mungkin adalah munculnya sikap pesimistis untuk menggunakan semua potensi yang dimiliki oleh bangsa ini. Padahal berdasarkan survey yang dilakukan oleh PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center), ternyata rate of giving masyarakat Indonesia masih cukup tinggi. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan Agustus 2000 – Agustus 2001, rate of giving masyarakat Indonesia adalah 96% dilakukan untuk perorangan, 84% untuk lembaga keagamaan dan 77% untuk lembaga non keagamaan. Nilai nyata penerimaan yang berhasil dikumpulkan oleh beberapa LSM dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Nilai Penerimaan Tahunan 18 LSM di Indonesia
No.
Organisasi
Pendapatan tahunan
1
Yayasan Manusia Indonesia
Rp400 juta
2
Dompet Dhuafa
Rp11 milyar
3
Yayasan Mitra Mandiri
USD150.000
4
Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup
Rp736 juta
5
Yayasan Dana Sosial Al-Falah
Rp1,6 miliar
6
Komite Kemanusiaan Indonesia
Rp9,8 milyar
7
Yayasan Daarut Tauhid
Rp5 milyar
8
DML
Rp420 juta
9
Yayasan Dharma Wulan
Rp200 juta
10
MER-C
Rp240 juta
11
Bina Swadaya
Rp39 juta
12
Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih
Rp2,5 juta
13
Yayasan Tengko Situru’
Rp1,4 juta
14
Yayasan Kristen Untuk Kesejahteraan Umum
Rp100 milyar
15
Koperasi Setya Bhakti Wanita
Rp35,3 milyar
16
Dompet Sosial Ummul Quro’ (DSUQ)
Rp3 milyar
17
Yayasan Maha Bhoga Marga
Rp800 juta
18
Yayasan Bakti Nusantara Isafat
Rp600 juta
Sumber data : Membangun Kemandirian Berkarya, PIRAC, 2002

Data pada Tabel 1, yang hanya diperoleh dari 18 lembaga, menunjukkan bahwa peluang penggalangan dana masyarakat sangat besar. Padahal saat ini jumlah LSM ataupun lembaga-lembaga lain yang melakukan penggalangan dana masyarakat secara massal masih cukup banyak, seperti RCTI Peduli, Pundi Amal SCTV, TPI peduli, Kharisma AN-TV, Radio Elshinta Peduli, Dana Kemanusiaan News FM, Pro 2 FM Peduli, Ramaco Peduli dan lain-lain. Dengan potensi sebesar itu, maka sebenarnya ada peluang bagi bangsa ini untuk membiayai sendiri pembangunan yang dilaksanakan pemerintah.

Bagaimana dengan Wakaf ?
Secara bahasa, wakaf berati menahan. Secara istilah, wakaf berarti menahan harta yang dapat diambil manfaatnya untuk kebaikan tanpa merusak substansi kebendaannya. M.A. Mannan (2001) menyatkan bahwa wakaf adalah suatu tindakan penahanan dari penggunaan dan penyerahan asset dimana seseorang dapat memanfaatkan atau menggunakan hasilnya untuk tujuan amal, sepanjang barang tersebut masih ada. Sementara itu, dalam kompilasi hukum Islam pasal 215 juncto pasal 1 (1) PP No.28 tahun 1977, wakaf adalah perwakilan hukum seseorang atau sekelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta miliknya dan kemudian melembagakannya untuk digunakan untuk kepentingan ibadah atau kepentingan umum lainnya sesuai syariat Islam.

Wakaf sebagai salah satu instrumen penerimaan sosial dalam Islam sudah lama dikenal. Namun demikian, penerapannya di Indonesia hanya dikenal dalam bentuk fixed asset seperti masjid, rumah/bangunan dan tanah, bukan berupa uang tunai (wakaf tunai). Sebagai sebuah instrumen yang dipahami orang Islam sebagai ladang pahala yang tidak terputus, wakaf menjadi sangat diminati oleh kalangan menengah ke atas, karena nilainya yang cukup besar (berupa fixed asset). Data harta wakaf yang tercatat di PP Muhammadiyyah antara lain 2.360 masjid, 8.315 unit sekolah (termasuk pesantren dan perguruan tinggi), 239 unit Panti Asuhan Anak Yatim dan 50 unit klinik dan rumah sakit, serta masih banyak lagi harta wakaf lainnya (H. Chufran Hamal, Studi Kasus Pengelolaan Wakaf Persyarikatan Muhammadiyyah, 2002).

Jika wakaf tunai dapat diimplementasikan, maka bukan tidak mungkin penerimaan dengan instrumen ini menjadi lebih tinggi daripada instrumen lainnya seperti zakat, infaq, shadaqah, ataupun lainnya. Kenapa ? Dengan wakaf tunai, maka instrumen wakaf tidak lagi menjadi monopoli kalangan “berduit”. Kalangan menengah ke bawah pun bisa ikut berpartisipasi. Jika saja terdapat 10 juta saja masyarakat muslim yang mewakafkan dananya sebanyak Rp100 ribu, maka akan diperoleh pengumpulan dana wakaf sebesar Rp1 trilyun setiap bulan (Rp12 trilyun per tahun). Dan jika diinvestasikan dengan tingkat investasi 10% per tahun maka akan diperoleh penambahan dana wakaf sebesar Rp8 milyar setiap bulannya (100 milyar per tahun). Suatu dana yang tidak dapat dikatakan kecil jika dibandingkan dengan perolehan laba 145 bank nasional yang sebesar Rp9,26 trilyun (Infobank, Juli 2002) ataupun realisasi perolehan PPh tahun 2000 sebesar Rp57 trilyun (Bisnis Indonesia, 9 Juli 2002).

Apakah itu sebuah angan-angan belaka ? Jika melihat tingkat kedermawanan masyarakat Indonesia sebagaimana telah diuraikan di atas, maka hal tersebut menjadi sesuatu yang bukannya tidak mungkin dapat terjadi. Apalagi menurut survei tentang pola sumbangan untuk organisasi/kegiatan keagamaan, 84% masyarakat mengaku pernah menyumbang untuk organisasi/kegiatan keagamaan dengan rata-rata sumbangan Rp304.000 per pemberi per tahun (PIRAC, 2002).

Wakaf Tunai
Di Indonesia, wakaf lebih banyak dikenal dalam bentuk properti seperti masjid, bangunan sekolah, tanah dan lain-lain. Padahal beberapa ulama telah lama memperkenalkan konsep wakaf tunai. Mazhab Syafii dan Hambali menyatakan bahwa obyek wakaf dapat berupa barang bergerak ataupun tidak bergerak, seperti mobil, hewan, rumah dan tanaman. Mazhab Maliki membolehkan mewakafkan manfaat hewan untuk dipergunakan dan membolehkan mewakafkan uang. Sedangkan mazhab Hanafi membolehkan wakaf digunakan untuk kepentingan usaha dengan sistem mudharabah atau sistem bagi hasil lainnya. Ulama Az-Zuhri (wafat 124 H) menyatakan bahwa wakaf dapat dilakukan dengan dinar dan dirham yang dijadikan modal usaha kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. KH. Didin Hafiduddhin berpendapat bahwa wakaf tunai dapat dibenarkan secara syariah dengan syarat uang tersebut tetap terjaga dan terpelihara (terjamin keutuhannya).

Dalam bentuk wakaf tunai, sumber dana wakaf menjadi lebih luas menjangkau semua kalangan, dari kalangan atas, menengah hingga kalangan bawah karena nilainya yang beragam dari nilai yang kecil hingga yang besar. Dengan jenis peruntukkannya yang lebih luas ketimbang zakat, maka pengelolaan dana wakaf akan menjadi lebih luas juga. Dengan demikian, potensi wakaf tunai dapat juga dipandang sebagai dana publik yang memang saat ini sedang dibutuhkan. Berapa banyak usaha sektor riil yang akan “hidup” karena implementasi wakaf tunai. Untuk kasus kabupaten Aceh Selatan, maka wakaf tunai pasti akan mampu mengcover kebutuhan dana investasi produk unggulan yang hanya sebesar Rp5,8 milyar dengan 1.718 unit usaha di bidang pangan, sandang dan kulit, kimia & bahan bangunan, logam dan kerajinan umum (Business News 6785/8 Juli 2002 hal-29).

Studi Kasus Pengelolaan Wakaf
Pengelolaan wakaf biasanya dilakukan oleh lembaga yang terpisah dari lembaga pengelolaan zakat, karena memang filosofinya yang berbeda. Tujuan penggunaan dana wakaf lebih luas daripada zakat. Menurut data Karim Business Consultant (2002), survey keberadaaan 104 yayasan wakaf di Suriah, Palestina, Tukri dan Mesir selama tahun 1930 – 1947 menunjukkan data antara lain : 58% berbentuk tanah wakaf yang terkonsentrasi di kota besar dalam bentuk rumah, gedung, tanah dan pertokoan. 35% terkonsentrasi di pedesaan dalam bentuk lahan perkebunan dan 17% berbentuk dinar dan dirham. Survey tersebut, menggambarkan dengan jelas bahwa obyek wakaf berupa uang (dinar dan dirham) sudah cukup lama dikenal. Adi Warman Karim menyatakan bahwa dari hasil survey tersebut juga dapat disimpulkan bahwa bentuk obyek wakaf sangat ditentukan dengan kondisi sosial masyarakat. Semakin maju tingkat sosial masyarakat, maka bentuk obyek wakafnya akan semakin berkembang sesuai dengan kondisi saat itu.

Pengelolaan wakaf di Bangladesh dilakukan oleh Kantor Administrasi Wakaf yang memiliki kewenangan mengambil alih pengelolaan wakaf dari pengelola yang tidak amanah/profesional dan menyerahkannya kepada pengelola lain yang lebih amanah/profesional. Selain itu, Kantor Administrasi Wakaf tersebut juga berwenang mengalihkan obyek wakaf yang tidak produktif dengan cara menjualnya, dan hasilnya dibelikan obyek lain yang lebih produktif (mirip metode ruislag).

Di Amerika, selain harta wakaf dikenal juga pinjaman bank untuk membangun gedung diatas tanah wakaf. Gedung tersebut kemudian disewakan. 80% hasil sewa digunakan untuk membayar pinjaman, sementara 20% hasilnya digunakan untuk operasional. Di Pakistan, harta wakaf digunakan untuk membangun akademi ulama, rumah sakit dan pusat riset. Di Uganda yang jumlah umat Islamnya hanya 25-30% saja, pengelolaan wakaf dilakukan oleh sebuah badan pemerintah yang mirip MUI (Majelis Ulama Indonesia). Badan ini mengelola wakaf yang ditujukan untuk kepentingan sosial seperti masjid, layanan sosial, rumah sakit dan lainnya.

Di Turki, dana wakaf digunakan untuk mendirikan rumah sakit modern, lembaga pendidikan dan layanan sosial, hotel (saat ini telah memiliki 55% saham di Taskin Sheraton Hotel), pabrik air minum, pabrik tekstil, usaha kontraktor dan usaha ekspor impor. Di India terdapat hal yang cukup mengherankan. Pemerintah India yang notabene beragama Hindu berkenan memberikan grant sebesar 32 juta rupee (pada tahun 1984) kepada kantor administrasi wakaf untuk dikelola. Dan ternyata, pengelolaan harta wakaf tersebut menghasilkan lebih dari 100.000 harta wakaf dengan pendapatan sekitar 200 juta rupee per tahun.

Peranan Perbankan Syariah dalam Wakaf Tunai
Dengan potensi yang sedemikian besar, maka pengelolaan wakaf tunai secara profesional menjadi suatu harapan bagi kemaslahatan ummat. Harapan terbesar ummat saat ini adalah bank syariah, yang merupakan salah satu lembaga profesional dalam bidang keuangan. Kenapa harus bank syariah ? Hal ini sesungguhnya merupakan hal yang niscaya dalam rangka menjaga kemurnian dan kesucian ibadah yang dilakukan oleh nasabah.

Ada beberapa peran bank syariah dalam pengelolaan wakaf tunai, yakni penerima dan penyalur dana wakaf, pengelola ataupun custody. Sebagai penerima, bank syariah dapat menggunakan jaringan cabangnya untuk mengumpulkan dana wakaf diri masyarakat. Pengalaman sebagai bank penerima setoran ini telah lama dilakukan sebagaimana halnya pada pelaksanaan penerimaan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH). Dananya kemudian diserahkan kepada lembaga wakaf yang ditunjuk oleh pemerintah ataupun lembaga swasta lainnya yang profesional dibidangnya. Sebagai tanda teriuma, bank dapat menerbitkan sertifikat wakaf yang mendapat pengesahan dari pemerintah.

Peran yang kedua adalah sebagai pengelola dana wakaf. Pada peran yang satu ini, bank dapat bertindak hanya sebagai pengelola dana wakaf dalam bentuk investasi dalam berbagai bidang yang prospektif. Sumber dana wakaf dapat berasal dari lembaga pengumpul wakaf lainnya, baik swasta maupun pemerintah. Hasil pengelolaan dana wakaf tersebut kemudian akan dikembalikan kepada lembaga wakaf untuk disalurkan kepada maukuf alaih (pihak yang berhak menerima manfaat wakaf). Peran ketiga yang dapat dilakukan bank adalah sebagai pihak yang mendapat kepercayaan untuk mengelola administrasi dan dokumen harta wakaf dari badan/lembaga pengumpul wakaf. Pada peran ini, bank bertindak atas nama lembaga wakaf yang telah ditunjuk.

Namun demikian, sebagai institusi yang profesional dan dipercaya, maka bank sebenarnya dapat saja melaksanakan ketiga peran tersebut, yakni sebagai penerima, pengelola dan penyalur dana wakaf. Dengan memanfaatkan jaringan cabangnya, maka perolehan dan penyaluran wakaf tunai dapat dilakukan secara lebih optimal. Satu hal penting yang perlu diperhatikan adalah kewajiban bank syariah untuk menjamin keberadaan dana wakaf tersebut. Skema implementasi keterlibatan bank syariah dalam penerimaan, pengelola dan penyalur dana wakaf dapat dilihat pada Gambar 1.

Wakif
Bank Syariah
Hasil usaha
Penyaluran & pengelolaan dana
Maukuf alaih
Keterangan :
1. Wakif menyerahkan dana wakaf ke bank
2. Bank menyalurkan dana untuk usaha
3. Hasil usaha
4. Nilai pokok dikembalikan ke bank
5. Laba usaha diberikan ke maukuf alaih melalui bank
Laba
Pokok
5
5
4
3
2
1
Gambar 1. Skema penyaluran dana wakaf oleh bank syariah















Pengelolaan wakaf tunai oleh perbankan syariah, tidak hanya dimungkinkan semata-mata karena aspek teknis belaka, akan tetapi diharapkan juga dapat memberikan kontribusi optimal bagi perkembangan perbankan syariah itu sendiri. Beberapa dampak positif atas dikelolanya wakaf tunai oleh perbankan syariah adalah sebagai berikut:
1. Menambah alternatif perolehan pendapatan perbankan syariah.
2. Meningkatkan citra positif bank syariah.
3. Meningkatkan keberadaan (eksistensi) perbankan syariah, karena sosialisasi wakaf tunai kepada masyarakat, dengan sendirinya juga merupakan sosialisasi bagi perbankan syariah itu sendiri.
4. Keberhasilan sosialisi dan pengelolaan dana wakaf tunai adalah menyangkut pengelolaan dana publik yang cukup besar. Dampak lebih jauh, diharapkan akan mendorong bank-bank non-syariah untuk melakukan kegiatan perbankan atas prinsip syariah, yang pada akhirnya hal ini akan meningkatkan perkembangan perbankan syariah.

Penutup
Mencermati peluang dan historikal pengelolaan dana wakaf baik di Indonesia maupun di beberapa negara lainnya, dapat ditarik benang merah korelasi antara peluang, pengelolaan yang profesional dan hasil atau manfaat yang akan diterima oleh ummat. Ditengah kondisi krisis seperti saat ini, keinginan masyarakat tidak akan pernah pudar dalam hal berderma, apalagi bagi orang-orang sukses yang semakin bijak dan memahami intisari kehidupan di dunia ini. Semakin orang memahami intisari kehidupan ini, semakin tinggi tingkat kepedulian mereka. Hal ini harus ditangkap sebagai peluang yang tak pernah putus dalam pengumpulan dana wakaf. Tinggal permasalahannya adalah bagaimana mengelola dana-dana wakaf tersebut agar diperoleh implikasi yang optimal bagi kemaslahatan ummat. Pada akhirnya harus disadari bahwa semua harapan masyarakat untuk memperoleh kualitas hidup yang lebih baik dari pengelolaan wakaf secara profesional mau tidak mau telah menjadi beban dan tanggung jawab perbankan syariah. Bagaimana bank syariah ?
Wallahu’alam bishawab

No comments: